Belum sampai
cinta. Karena telah lama aku tak bersua dengannya. Aku di sini, ia di sana. Mengejar mimpinya. Romansa SMA? Sepertinya tidak. Karena
saat dulu pun, yang kami lakukan tak lebih dari tegur sapa.
Belum sampai
cinta. Tapi aku menghormatinya. Bukan hanya karena usia yang lebih dewasa, tapi
hampir segala lakunya yang bijaksana.
Belum sampai
cinta. Seolah aku terlena. Bagai abg yang sedang kasmaran mengikuti secara
diam-diam linimasanya. Bahkan saat ini, dengan sedikit memaksa, kubuka profil jaring
sosialnya saat lampu sedang enggan manyala. Mungkin rindu? Mungkin tidak. Ini hanya jadi semacam tindakan harian yang kian lama
kuanggap biasa.
Belum sampai cinta. Ia mendalami ilmu pasti sedang aku
mencintai ilmu bahasa. Tapi entah mengapa saat bicara sastra, selera kami
hampir sama. Mengutak-atik kata, puisi berima, mantra memuja. Kadang saat
menyindirpun kami lakukan dengan gaya nyaris sama. Iya kah? Entahlah. Atau,
hanya rasaku saja?
Belum sampai cinta. Tapi aku menikmatinya. Menikmati
kisahnya, puisinya. Aku menikmati goresan isi hatinya sebesar menikmati
secangkir kopi yang kujerang di saat senja.
Belum sampai cinta. Kami hidup di dua dunia yang
benar-benar berbeda. Tapi entah mengapa, keinginan kuat tiba-tiba hadir untuk
mendekat dan masuk ke dunianya. Mungkin ia merasa, mungkin tidak. Mungkin ia
peduli, mungkin tidak. Tapi harapku, ia tahu kalau aku ada.
Belum sampai cinta. Karena kekuatan untuk mengaku itu
belum ada. Ia yang terlalu tinggi, atau aku yang terlalu tak percaya diri? Entahlah.
Belum sampai cinta. Karena sungguhnya sampai kini pun
aku tak tahu, cinta itu apa dan bagaimana hakikatnya. Yang kutahu kini hanya
aku peduli padanya.
No comments:
Post a Comment