Menurut Jabrohim, cerpen adalah cerita fiksi bentuk prosa yang singkat, padat, yang unsur-unsur ceritanya terpusat pada satu peristiwa pokok sehingga jumlah dan pengembangan pelaku terbatas dan keseluruhan cerita memberikan kesan tunggal (Jabrohim, 1994: 165-166).
Sedangkan menurut Damono (1978:15) cerpen merupakan cerita atau narasi yang fiktif serta relatif pendek berdasarkan realitas tersebut dan hanya mengandung satu kejadian untuk satu efek bagi pembaca. Menurut Semi (1988:34) cerpen adalah penceritaan yang memusat pada satu peristiwa pokok sedangkan peristiwa pokok itu selalu tidak sendirian, ada peristiwa lain yang sifatnya mendukung peristiwa pokok.
Cerpen sesuai dengan namanya adalah cerita yang pendek. Akan tetapi berapa ukuran panjang pendek itu memang tidak ada aturannya, tidak ada kesepakatan diantara para pengarang dan para ahli. Edgar Allan Poe (dalam Jassin, 1961:72) sastrawan kenamaan dari Amerika itu mengatakan bahwa cerpen adalah sebuah cerita yang selesai dibaca dalam sekali duduk, kira-kira berkisar antara setengah sampai dua jam. Suatu hal yang kiranya tak mungkin dilakukan untuk sebuah novel.
Panjang pendeknya cerpen ini bervariasi. Ada cerpen yang pendek (Short Story), bahkan mungkin pendek sekali, berkisar 500-an kata, ada cerpen yang panjangnya cukup (Middle Short Story), serta ada cerpen yang panjang (Long Short Story) yang terdiri dari puluhan atau bahkan beberapa puluh ribu kata. Cerpen yang penjangnya terdiri dari puluhan ribu kata tersebut dapat juga disebut novelet. Sebagai contoh misalnya, Sri Sumarah dan juga Bawuk serta kimono Biru buat Istri karya Umar Kayam walaupun untuk yang kedua terakhir itu lebih banyak disebut sebagai cerpen panjang.
Cerpen sebagai karya fiksi dibangun dari dua unsur yaitu unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik. Unsur intrinsik adalah unsur-unsur yang membangun karya sastra itu sendiri. Unsur yang dimaksud adalah plot, penokohan dan perwatakan tokoh, tema, latar, gaya bahasa, sudut pandang cerita dan lain-lain.
Sedangkan unsur ekstrinsik adalah unsur yang berada di luar karya sastra itu, tetapi secara tidak langsung mempengaruhi bangunan atau sistem organisme karya sastra. Unsur-unsur yang dimaksud adalah keadaan subjektivitas individu pengarang yang memiliki sikap, keyakinan dan pan dangan hidup yang kesemuanya itu akan mempengaruhi karya yang ditulisnya. Unsur biografi pengarang, psikologi pengarang (yang mencakup proses kreatifnya), psikologi pembaca, keadaan lingkungan pengarang seperti ekonomi, politik dan sosial juga akan berpengaruh terhadap karya sastra. Cerpen menurut penceritaan yang khas adalah kemampuannya mengemukakan lebih banyak.
Ciri-ciri pokok cerpen menurut Jabrohim (1994:165) ialah:
1) cerita fiksi;
2) bentuknya singkat dan padat;
3) ceritanya terpusat pada suatu peristiwa/ insiden/ konflik pokok;
4) jumlah dan pengembangan pelaku terbatas;
5) keseluruhan cerita memberikan suatu efek atau kesan tunggal.
a. Unsur Cerpen
1) Unsur Intrinsik Cerpen
a) Tokoh
Istilah tokoh menunjuk pada orang atau pelaku cerita. Sedangkan watak, perwatakan, ataupun karakter menunjuk pada sifat atau sikap para tokoh seperti yang ditafsirkan oleh pembaca kerya sastra, istilah-istilah ini lebih menunjuk pada kualitas pribadi yang kokoh. Penggunaan istilah “karakter” (character) dalam bahasa Inggris mempunyai dua pengertian yang berbeda, yaitu sebagai tokoh-tokoh cerita yang ditampilkan, dan sebagai sikap, ketertarikan, keinginan, emosi, dan prinsip moral yang dimiliki tokoh-tokoh tersebut.
Tokoh cerita (character) menurut Abrams (dalam Nurgiantoro,2002:165) adalah orang-orang yang ditampilkan dalam suatu karya naratif, atau drama, yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan. Jadi tokoh dapat berarti pelaku cerita dan dapat pula berarti watak atau perwatakan. Penyebutan tokoh dan watak atau karakternya memang mengingatkan kita dengan perwatakan yang dimiliki si tokoh tersebut. Seperti Datuk maringgih dan sifat-sifat jahatnya, dan tokoh-tokoh lain dengan sifat dan wataknya masing-masing.
1. Tokoh Utama dan Tokoh Tambahan
Tokoh utama adalah tokoh yang diutamakan penceritaannya dalam sebuah karya sastra. Ia merupakan tokoh yang paling banyak diceritakan, baik sebagai pelaku kejadian maupun yang dikenai kejadian. Bahkan dalam karya-karya tertentu, tokoh utama senantiasa hadir dalam setiap kejadian dan dapat ditemui dalam tiap halaman cerita yang disampaikan.
Sedangkan tokoh tambahan adalah tokoh yang berfungsi sebagai penunjang terhadap keberadaan tokoh utama. Pemunculan tokoh-tokoh tambahan dalam keseluruhan cerita lebih sedikit, kehadirannya tidak begitu dipentingkan, dan jika ada keterkaitannya dengan tokoh utama, secara langsung ataupun tidak langsung.
Pembedaan terhadap keutamaan tokoh tersebut tidak dapat dilakukan secara eksak. Pembedaan itu lebih bersifat gradasi, kadar keutamaan tokoh-tokoh itu bertingkat. Pembedaan yang bersifat gradasi inilah yang menyebabkan seorang apresiator mempunyai pendapat yang berbeda-beda dalam menentukan tokoh utama dalam sebuah cerita.
2. Tokoh Protagonis dan Tokoh Antagonis
Tokoh protagonis adalah tokoh yang dikagumi, tokoh yang merupakan pengejawantahan norma-norma, nilai-nilai yang ideal bagi kita (Altenbernd and Lewis dalam Nurgiantoro, 2002:178). Tokoh protagonis menampilkan sesuatu yang sesuai dengan pandangan kita, harapah-harapan kita, sebagai pembaca. Hal ini dapat diamati dari cerita-cerita dalam sebuah film, sinetron ataupun cerita rakyat yang akrab dengan kehidupan sehari-hari.
Sedangkan tokoh antagonis adalah tokoh yang mempunyai karakter tidak disukai dan cenderung jahat, ia merupakan kebalikan dari tokoh protagonis. Keberadaan tokoh antagonis inilah akan menyebabkan terjadinya konflik cerita.
Selain tokoh antagonis, konflik juga bisa terjadi dengan adanya kekuatan antagonis (bencana alam, kecelakaan, lingkungan sosial, aturan-aturan sosial, dan sebagainya).
Menentukan tokoh-tokoh cerita ke dalam protagonis maupun antagonis kadang tidak mudah, atau paling tidak orang bisa berbeda pendapatnya. Jika terdapat 2 tokoh yang berlawanan, tokoh yang lebih banyak diberi kesempatan untuk mengemukakan visinya itulah yang kemungkinan besar memperoleh simpati, dan empati pembacanya (Luxemburg dalam Nurgiantoro,2002:180).
3. Teknik Penulisan Tokoh
Teknik penulisan tokoh dalam sebuah karya sastra (sikap, watak, tingkah laku, dan berbagai hal yang berhubungan dengan jati diri tokoh) dapat dibedakan ke dalam dua cara, yakni: teknik uraian dan teknik ragaan (Abrams), atau teknik penjelasan, ekspositori dan teknik dramatik (Altenberd dan Lewis), atau teknik diskursif, dramatik, dan kontekstual (Kenny dalam Nurgiantoro, 2002:194).
b) Tema
Tema dapat diartikan sebagai pokok pikiran atau dasar cerita yang dipercakapkan dan dipakai sebagai dasar mengarang, menggubah sajak, dan sebagainya (Adib Sofie dan Sugihastuti,2003:12). Sedangkan menurut Stanton dan Kenny (dalam Nurgiantoro, 2002:67) tema adalah makna yang terkandung dalam sebuah cerita. Sebagai sebuah makna, pada umumnya tema tidak dilukiskan, paling tidak pelukisan yang secara langsung atau khusus. Eksistensi kehadiran tema adalah terimplisit dan merasuki keseluruhan cerita.
Tema dapat dipandang sebagai dasar cerita, gagasan dasar umum sebuah karya sastra. Gagasan umum inilah yang akan digunakan untuk mengembangkan cerita. Sehingga sebagai peristiwa konflik, dan pemilihan berbagai unsur intrinsik lain seperti penokohan, pelataran, dan penyudutpandangan diusahakan mencerminkan gagasan umum tersebut.
Stanton (dalam Nurgiantoro, 2002:87-88) mengemukakan beberapa kriteria dalam menafsirkan tema sebuah karya sastra, yaitu:
1. Penafsiran tema sebuah karya sastra hendaknya mempertimbangkan tiap detil cerita yang menonjol.
2. Penafsiran tema sebuah fiksi hendaknya tidak bersifat bertentangan dengan tiap detil cerita.
3. Penafsiran tema sebuah fiksi hendaknya tidak mendasarkan diri pada bukti-bukti yang tidak dinyatakan baik secara langsung maupun tidak langsung dalam fiksi yang bersangkutan.
4. Penafsiran tema sebuah fiksi haruslah mendasarkan diri pada bukti-bukti yang secara langsung ada atau yang disarankan dalam cerita.
Menurut Najid (2003:28), tema terbagi menjadi dua jenis, yaitu tema mayor dan tema minor. Tema mayor adalah tema pokok, tema utama, yaitu permasalahan dominan yang menjiwai cerita. Sedangkan tema minoratau tema bawahan ialah persoalan-persoalan kecil yang mendukungkeberadaan tema mayor.
c) Latar
Menurut Stanton (dalam Sugihastuti,2003:19) latar atau setting adalah lingkungan peristiwa, yaitu dunia cerita tempat terjadinya peristiwa. Latar atau setting juga disebut jug alandas tumpu, menyaran pada pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan (Abrams dalam Nurgiantoro, 2002:216).
Unsur latar dapat dibedakan menjadi 3 unsur pokok, yaitu tempat, waktu, dan sosial.
1. Latar tempat
Latar tempat mengarah pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Latar tempat dalam sebuah cerita biasanya meliputi berbagai lokasi. Ia akan berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat yang lain sejalan dengan perkembangan plot dan tokoh.
2. Latar waktu
Latar waktu berhubungan dengan masalah kapan terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Masalah kapan tersebut biasanya dihubungkan dengan waktu faktual, waktu yang ada kaitannya atau dapat dikaitkan dengan peristiwa sejarah.
3. Latar sosial
Latar sosial berhubungan dengan hal-hal yang berhubungan dengan perilaku kahidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam karya fiksi. Ia dapat berupa kebiasaan hidup, adat istiadat, tradisi, keyakinan, pandangan hidup, cara berpikir dan bersikap, dan lain-lain. Di samping itu, latar sosial juga berhubungan dengan status sosial tokoh yang bersangkutan, misalnya rendah, menengah, atau atas.
Meskipun menawarkan permasalahan yang berbeda dan dapat dibicarakan secara sendiri, namun masih berkaitan dan saling mempengaruhi satu dengan yang lain.
d) Alur atau Plot
Stanton dalam Nurgiantoro (2002:113) mengemukakan bahwa plot adalah cerita yang berisi urutan kejadian, namun tiap kejadian itu hanya dihubungkan secara sebab-akibat, peristiwa yang satu disebabkan atau menyebabkan terjadinya peristiwa yang lain. Sedangkan Kenny mengemukakan plot sebagai peristiwa-peristiwa yang ditampilkan dalam cerita yang tidak sederhana, karena pengarang menyusun peristiwa-peristiwa itu berdasarkan kaitan sebab akibat.
Dalam pengembangan plot cerita, terdapat 3 unsur yang esensial. Unsur-unsur tersebut ialah:
1. Peristiwa
Peristiwa dapat diartikan sebagai peralihan dari satu keadaan ke keadaan lain. Dalam hubungannya dengan pengembangan plot, atau perannya dalam penyajian cerita, peristiwa dapat dibedakan menjadi tiga jenis, yakni peristiwa fungsional (peristiwa-peristiwa yang menentukan dan atau mempengaruhi perkembangan plot), peristiwa kaitan (peristiwa yang berfungsi mengaitkan peristiwa-peristiwa penting dalam pengurutan penyajian cerita), dan peristiwa acuan (peristiwa yang secara tidak langsung berpengaruh atau berhubungan dengan perkembangan plot).
2. Konflik
Konflik adalah sesuatu yang dramatik, mengacu pada pertarungan antara dua kekuatan yang seimbang dan pemyiratkan adanya aksi dan aksi balasan (reaksi). Bentuk konflik, sebagai bentuk kejadian, dapat dibedakan ke dalam dua kategori: konflik fisik dan konflik batin, konflik eksternal dan konflik internal.
3. Klimaks
Klimaks adalah saat konflik telah mencapai tingkat intensitas tertinggi, dan saat itu merupakan sesuatu yang tidak dapat dihindari kejadiannya (Stanton dalan Nurgiantoro, 2002:127).
Berdasarkan urutan waktu terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam karya fiksi, plot dapat dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu:
1. Plot lurus / progresif (bersifat kronologis atau maju),
2. Plot sorot-balik, flash-back (egresif atau akhir-awal),
3. Plot campuran.
e) Sudut Pandang
Sudut pandang atau point of view, mengarah pada sebuah cerita yang dikisahkan. Ia merupakan cara atau pandangan yang digunakan pengarang sebagai sarana untuk menyajikan tokoh, tindakan, latar, dan berbagai peristiwa yang membentuk cerita dalam sebuah karya fiksi (cerpen) kepada pembaca (Abrrams dalam Nurgiantoro, 2002:248).
Sudut pandang cerita itu sendiri secara garis besar dapat dibedakan ke dalam 2 macam: persona pertama, gaya “aku”, dan persona ketiga, gaya “dia”. Jadi, dari kedua sudut pandang tersebut, dengan berbagai variasinya, sebuah cerita dikisahkan.
f) Gaya Bahasa
Bahasa dalam prosa fiksi memiliki peran ganda. Ia tidak hanya berfungsi sebagai penyampai gagasan pengarang, namun juga sebagai penyampai perasaannya. Seorang pengarang, lewat karyanya, tidak sekadar memberitahu pembaca tentang apa yang dilakukan dan dialami tokoh ceritanya, melainkan bermaksud pula mengajak pembaca untuk ikut serta merasakan apa yang dirasakan oleh tokoh cerita. Itulah sebabnya, pengarang senantiasa memilih kata dan menyusunnya agar menghasilkan kalimat yang mampu menjadi buah pikiran dan perasaannya. Agar maksud tersebut tercapai, tidak jarang pengarang menempuh cara-cara khusus di luar konteks bahasa sehari-hari.
Beberapa cara yang ditempuh oleh pengarang dalam memberdayakan bahasa prosa fiksi ialah dengan menggunakan perbandingan, menghidupkan benda mati, melukiskan sesuatu dengan tidak sewajarnya, dan sebagainya. Itulah sebabnya, terkadang dalam karya sastra sering dijumpai kalimat-kalimat khas.
g) Amanat
Dalam berkarya pengarang pasti mempunyai tujuan tertentu yang ingin dicapai dengan karyanya. Tujuan inilah yang disebut amanat. Sebagaimana tema, amanat juga terbagi menjadi dua jenis, yaitu amanat utama dan amanat bawahan (Najid,2003:28). Umumnya, amanat cerita berisi ajaran-ajaran moral, yaitu ajakan, sran atau anjuran kepada pembaca untuk meningkatkan kesadaran kemanusiaannya. Banyak-sedikitnya amanat dan luas-sempitnya amanat bergantung pada persoalan yang dipaparkan oleh pengarang dalam cerita.
Dari berbagai Sumber
Sangat membantuuuuu..... terimakasih 😂😂😃😄😁
ReplyDeleteSangat membantu gan. tapi tolong sertakan referensinya. supaya tulisan ini bisa dipertanggung jawabkan.
ReplyDelete