Tuesday, December 6, 2011

Bali kemBali memBaliBali dengan segala keleBalian :D ( "Super Junior" in Bali)

Heheheheeh iseng-iseng lagi inih.. Liat-liat album poto waktu jaman mo kelar kuliah dulu. Bulan Juli 2010 kemaren kita sekelas (PR JBSI 2006) maen-maen menjamah pulau sebelah a.k.a Baliiiiiiii
dan ini potonyaaaahhh :D
Ternyataaa Ada "Super Junior" di Baliiiii wkwkwkwkw

 
 Hi, it's me Soffie







Sand, Rock, Rainbow, Vawes, Super Junior, Love ^^


Dijadiin poto prewed cocok nih kyknya wkwkwkwk

Meh wid Aan 'Kamal'

Bareng Nico ^^

Nyonya Yudhi "Suketi"

Mrs. Retno Afandi

Keliatan belom mandinyaa hahahaha >.<

Sarapan di Bedugul. yumm yummmz

Kapan yah kita isa kayakk gini lagi??

Bersama sodara kembar Hahahahaha

Pak, senyum duong Pak =P

bareng mister BuKil, Bule Kinclong wkwkwkwk

Devil Inside the Breeze (File 3)



@ Sukira…

“89,1 KBS Cool FM, Kiss The Rrrrrrrradiooooooo!!!” Kata Eeteuk dan Eunhyuk bersama.

“Annyeong  yeorobundeuuuuullll!! Bagaimana hari kalian? Semoga masih semangat yah, seperti kami, duo suju tergokil dan ternista yang pernah ada, hahaha. Seperti biasa kami akan menemani kalian selama dua jam penuuuuuuhhh…..”

“Wakakakakkak,,, ente kemasukan setan wolferine yah hyung??? au au bgono”

“Kagak yooohh,, eke mah kerasukan kucienk racuuuuoonnn” *sebelum digaplok reader, author minta maap telah menistakan mereka bDua (_ _ )v*

“Jiah, jadi bencyong die.. wahhahahaha.  Betewee hyung, tahu tidak hari ini kita kedatangan tamu yang sangat istimewa loh, loh, loh,” kata Eunhyuk lebay *Mampus, digorok reader gw >.<*

“Whaaaw, nugu? Nugu? Nuguyaaaaa??” Eeteuk tidak kalah heboh.

“Kalian tahu, yeorobuuuunnn??? Sekarang Korea sedang demam novel Summer Breeze?? Naaaah, penulis yang kita tahu tidak pernah tampil di acara manapun ini mau menyempatkan diri ke Sukira loh, Siapa diaaa??? Kita sambit, eh sambuuuuttt…. Soffie Hwang!! Osso oseyo Soffie-ssi”

Raut muka Eeteuk seketika berubah tegang begitu mengetahui siapa sebenarnya ‘tamu’ di acara mereka.
Perempuan mengenakan full black outfit itu duduk di sebelah Eunhyuk dan memakai headphone yang disediakan untuknya.

“Ne, kamsahamnida Eunhyuk-ssi. Annyeong haseyo. Soffie Hwang Imnida. Bangapseumnida.”

“Waah, nomu kamsahamnida Soffie-ssi, sudah mau datang ke program kami. Dangshin jinjja yeppeodaa” Eunhyuk memuji Soffie yang hanya dibalas senyuman.

Eeteuk yang sedari tadi diam tersadar karena bisikan Eunhyuk yang memberitahu sekarang gilirannya bicara, namun ia tetap tak bisa menyembunyikan perasaannya. Ia memaksakan diri tersenyum.

“Annyeong haseyo Soffie-ssi” kata Eeteuk kaku.

“Ne”

“Cha!! Seperti yang kita semua tahu, novel Soffie-ssi yang terbaru sukses besar di sini, bisa beri sedikit komentar Soffie-ssi?” pinta Eunhyuk.

“Ne, ehm… Sebelumnya terima kasih sudah menyukai novel saya. Sebenarnya novel saya awalnya bukan berjudul Summer Breeze, tapi Devil Inside the Breeze. Seperti yang kalian baca, novel ini menceritakan tentang seseorang yang diperlakukan bak malaikat karena kebaikannya, tapi di dalamnya ternyata seorang yang sangat busuk” kata Soffie dengan pandangan tajam ke arah Eeteuk.

“Waah, iya benar. Waktu aku membacanya sempat  heran juga. Kok ada ya yang seperti itu? Kejahatan si malaikat tergambar jelas di sana tapi orang-orang di sekitarnya tak ada yang menyadari. Memangnya apa yang menginspirasi anda hingga bisa terpikir hal-hal yang out of blue seperti ini?”

“Out of blue? Haha, tidak juga. Tentu saja pengalaman. Inspirasi terbaik dari seorang penulis adalah pengalaman” Soffie kembali  melirik Eeteuk.

“pengalaman? Berarti memang ada orang yang sejahat seperti di novel anda di dunia nyata?”

“tentu saja, bisa dibilang cerita di novel itu sebagian besar kisah nyata”

“Ah, algessimnida. Tapi di akhir cerita agak menggantung. Apa anda mau membuat sekuelnya?”

“Anda jeli sekali Enhyuk-ssi” kata Soffie tersenyum.

“Benar, saya akan membuat kelanjutannya. Saya belum tahu bagaimana akhir dari kisah ini. Karena itu saya khusus datang ke Korea untuk mencari tahu” lagi-lagi pandangan tajam Soffie terarah ke Eeteuk yang diam membisu.

“Wah, benar-benar membuat penasaran” Eunhyuk tersenyum kaku sambil memberikan isyarat pada Eeteuk karena sekarang gilirannya bertanya.

“Ah, Ne. Soffie-ssi, Kami dengar anda baru kembali ke Korea ya? Sebelumnya anda tinggal di Indonesia” Eeteuk memulai pembicaraan.

“Ne” jawab Soffie singkat.

“Kalau boleh tahu dalam rangka apa anda kembali ke Korea?” Eeteuk bertanya tanpa menatap wajah Soffie.

“Sepertinya rekan anda tidak mendengarkan perkataan saya sebelumnya Eunhyuk-ssi” Soffie melirik Eunhyuk yang terheran-heran dengan suasana yang tiba-tiba berubah manjadi kaku.

“Saya kembali ke Korea karena ingin menyelesaikan kisah saya Eeteuk-ssi. Saya ingin bertemu tuan malaikat dan menanyakan bagaimana seharusnya kisah saya berakhir. Karena ini kisah nyata saya sendiri”

“Ah, jweisonghamnida Soffie-ssi. Di sini dikatakan anda tinggal di Indonesia sejak umur 7 tahun. Bagaimana kehidupan anda disana?”

“Anda ingin tahu kehidupan saya sebelumnya Eeteuk-ssi? Lebih buruk dari gelandangan di Korea. Saya dijual keluarga saya demi uang. Dipaksa hidup bersama keluarga kaya yang dingin. Akhirnya saya melarikan diri dan hidup jadi gelandangan hingga remaja. Saya tidak malu menceritakannya di sini. Kehidupan yang seperti ini yang membentuk saya menjadi kuat. Dan sekarang melalui siaran ini saya ingin memberitahukan pada Tuan Malaikat kalau saya masih hidup dan tak akan membiarkannya hidup bahagia”

Eeteuk yang kaget mendengar kisah Soffie hanya terdiam tak mampu berkata apa-apa. Akhirnya Eunhyuk yang mengambil alih pembicaraan.

“Waah, sepertinnya makin seru wawancara kita dengan sang penulis misterius. Tapi harus kita potong dulu, karena PD-nim sudah melambay2kend tangan yang artinya kita kudu istirahat.. hahaha. Jangah pindah frekuensi yeorobundeul, karena kita akan kembali setelah commercial break yang satu iniiiiiiiiiii” Eunhyuk mematikan tombol on air.

“Sepertinya sudah tidak ada lagi yang harus saya katakan. Terima kasih atas wawancaranya”  Soffie tiba-tiba bangkit dan melepas headphone nya.

“Tunggu. Kita belum closing Soffie-ssi” cegah Enhyuk.

“saya yakin anda berdua DJ profesional. Pasti bisa closing tanpa narasumber, bukan begitu, TUAN MALAIKAT??” katanya sambil mendekati Eeteuk. Membuat Eunhyuk tercengang.

“Kalau anda juga penasaran dengan akhir cerita novel saya eunhyuk-ssi, silakan anda tanyakan sendiri pada tuan malaikat yang tidak lain leader anda sendiri” Soffie meninggalkan studio tanpa menjelaskan apa-apa lagi, membuat eunhyuk semakin penasaran.

“Hyung, apa yang terjadi?”
Eeteuk yang sedari tadi diam tiba-tiba bangkit keluar menyusul Soffie. Dia menemukan perempuan itu berjalan ke arah pintu keluar. Eeteuk menahannya.

“Jisoo-ya, kenapa kau jadi seperti ini?” Eeteuk memelas.

“Jadi seperti apa? Iblis maksudmu? Heh, aku hanya meneruskan sifat iblis yang mengalir di darahku, Park Jungsoo. Kau yang lebih tahu itu” Soffie melanjutkan jalannya.

“Tunggu! Apa yang sebenarnya kau inginkan?” Eeteuk menghadang Soffie.

“Apa yang kuinginkan? Tentu saja kehancuranmu” gadis itu tersenyum sinis.

“Apa yang akan kau lakukan selanjutnya?” Eeteuk cemas.

“hehehe, ternyata kau takut juga ya? Aku memiliki dua pilihan untukmu. Tinggal pilih saja. Kau keluar dari Super Junior dan menghilang sebagai orang yang tidak bertanggung jawab, atau aku yang akan membongkar masa lalumu yang menjualku demi uang?” perempuan itu melipat tangannya di dada untuk menghilangkan gemetarnya.

“Jisoo-ya… waktu itu aku tak bermaksud…”

“Sudahlah… tak perlu repot-repot menjelaskan padaku. Waktumu satu bulan. Pikirkan baik-baik tuan Malaikat” perempuan itu berlalu pergi meninggalkan Eeteuk.

Eunhyuk yang sedari tadi mendengar pembicaraan mereka segera mendekati Eeteuk

“Hyung, ada apa ini sebenarnya? Kenapa wanita itu memanggilmu tuan malaikat? Kenapa kau memanggilnya Jisoo? Apa hubunganmu dengannya? Kenapa dia begitu membencimu?”

“Hwang Jisoo, dia adikku” Eeteuk tertunduk.

“Mwo????”

_to be continue_

skrip asli 7 Januari 2011
pindahan dari "rumah sebelah"

Devil Inside the Breeze (File 2)



“Masih ingat padaku Park Jungsoo?”

“K..Kau?”
Gadis itu hanya diam menatap Eeteuk dingin.

“Jisoo-ya.. Kau sudah pulang… Aku sangat merindukanmu” Eeteuk mendekat  hendak memeluk Soffie, gadis yang dipanggil Jisoo oleh Eeteuk, namun gadis itu menghindar dengan sengit.

“Jangan berani-berani menyentuhkan tangan kotormu di tubuhku!” gadis itu menyipitkan matanya.

“Baiklah, kalau kau masih marah padaku, Arasso. Syukurlah, sepertinya kau sehat-sehat saja. Oppa senang.
Tapi bagaimana kau bisa tahu apartemen Oppa?”

“Oppa kau bilang?! Kau masih berani menyebutkan kata itu di depanku? Tebal sekali mukamu!”

“Jisoo ya…” wajah Eeteuk berubah memelas.

“Kau tak tahu malu Park Jungsoo! Setelah bertahun-tahun menelantarkanku. Kau masih berani bertebal muka hah!! Ingat Park Jungsoo, kau yang membuangku…”

Gadis itu berhenti sejenak, mengontrol emosinya. Gelas yang sedari tadi dipegangnya ditaruhnya kembali di meja.

“Hmm… Pertanyaan yang bagus. Bagaimana aku tahu tempat tinggalmu?” gadis itu mendekati Eeteuk hingga nyaris tak ada jarak diantara mereka.

“Aku mengetahui semua tentangmu Park Jungsoo”

“Bersiaplah. Karena aku akan membuatmu merasakan apa yang sudah kurasakan selama 15 tahun ini. Aku akan membuatmu merasakan kesedihan hingga nafasmu terasa sesak dan jantungmu enggan berdetak!” Gadis itu mendesis.

Eeteuk ingin sekali memeluk gadis itu. meskipun saat ini mereka nyaris tak berjarak, tetap saja terlihat jurang kebencian diantara mereka.
Gadis itu beranjak pergi, tapi Eeteuk menghalanginya.

“Kau mau kemana?”

“Apa pedulimu!”

“Kau tinggal dimana? Biar kuantar”

“Huh, tenang saja. Aku tak akan jauh-jauh darimu. Aku tak ingin melewatkan sedikitpun ekspresi penderitaan dan rasa bersalahmu Park Jungsoo” katanya dengan senyum sinis yang sempurna menghias bibirnya.

Gadis itu pergi  meninggalkan Eeteuk yang masih tertegun…

@ @ @
Kamar 1005

Gadis itu menutup pintu perlahan. Tubuhnya bergetar hebat. Kakinya kini tak lagi mampu menopang tubuhnya. Gadis itu jatuh terduduk.

Gadis itu memeluk dirinya sendiri rapat-rapat dan menggigit bibir bawahnya keras-keras untuk menghentikan ketakutannya. Air mata kini mulai  menggenangi pelupuk matanya, namun dengan cepat air mata itu kembali mengering. Ia telah berjanji tidak akan pernah menangis lagi demi seorang Park Jungsoo.
Dikeluarkan ponselnya dan menghubungi nomor speed dial…

“Ne…” suara di seberang.

“Oppa…”

“Jisoo-ya… Kau sekarang dimana?” tanya suara di seberang cemas.

“Oppa… Aku bertemu dangannya…” Suara Soffie makin terdengar bergetar. Membuat lawan bicaranya semakin cemas.

“Kau dimana sekarang? Apa di apartemen?”

“mm…”

“Aku kesana sekarang” laki-laki itu menutup sambungan telepon.

@ @ @
Laki-laki itu memasuki kamar apartemen Soffie tergesa-gesa. Ia memasuki ruangan dan mencari gadis yang begitu dicintainya. Ia menemukan Soffie duduk meringkuk ketakutan di ruang tamu. Dengan sigap dipeluknya gadis itu untuk mengurangi rasa ketakutannya.

“Jisoo ya, Oppa di sini. Jangan takut lagi” katanya sambil mengelus kepala soffie pelan.

“Oppa, katakan padaku aku bisa melewati ini. Oppa, katakan…”

“Pasti! Kau pasti bisa melewati ini. Kau adik Oppa yang paling kuat. Jangan takut lagi. Oppa akan selalu melindungimu” laki-laki itu semakin mempererat pelukannya.

Dipapahnya gadis itu ke tempat tidur. ia menunggui hingga gadis itu tertidur.

“Hwang Jisoo, kenapa kau harus memutuskan untuk melakukan hal ini? Pembalasan dendam ini terlalu kejam untukmu” ia mencium  kening Soffie, lalu beranjak keluar kamar.

“Kyuhyun Oppa, kau mau kemana?”

“Oh, kau terbangun? Oppa mau ke dapur mengambil minum. Kau mau minum juga?” tawarnya.
Gadis itu menggeleng dan memejamkan mata kembali.

@ @ @
Hyosung bersiap berangkat ke kantor saat ia melihat mobil Eeteuk dari dalam rumah.
Ia keluar rumah dan menemukan Eeteuk duduk terpekur di depan gerbangnya.

“Jungsoo ya, kenapa duduk di sini? Kanapa tidak masuk?”

“Hyosung ah, bogoshipo ” Eeteuk memeluk Hyosung erat.

“Jagiiiiiiii, aku mau berangkat ke kantor”  Hyosung melepaskan pelukan Eeteuk.

“Lagipula kenapa kau ke sini sepagi ini? Bukannya kau ada syuting?”

“Tidak jadi. Nanti sore baru ke studio.”

“Hmm… Ada apa? Kenapa kau bersikap aneh?”

“Aniya. Jagiya, aku ingin tidur di kamarmu sebentar” eeteuk berjalan masuk ke rumah diikuti Hyosung di belakangnya.

“Baiklah, tapi kutinggal ke kantor ya” Eeteuk hanya mengangguk.

“Oh iya. Aku tadi memasak sup iga sapi. Kalau kau lapar tinggal hangatkan di microwafe”

Hyosung buru-buru meninggalkan Eeteuk karena dia sudah terlambat.

@ @ @
Eeteuk terbangun karena Handphonenya berdering terus-menerus. Ternyata Eunhyuk yang meneleponnya.

“Ne…” Suara Eeteuk masih terdengar mengantuk.

“Hyung! Kau dimana? Dua jam lagi kita siaran! Manajer hyung sudah marah-marah ini…” kata Eunhyuk panik.

“Hmm.. katakan padanya aku akan sampai satu jam lagi.”

“Ppalli hyung. Sukira hari ini kedatangan tamu penting. ” kata Eunhyuk kemudian menutup teleponnya.

@ @ @
Sukira Studio

“Kau ini kemana saja, sih?” Manajer Eeteuk  memarahinya begitu ia sampai di sana.

“Mianhae Hyung, tak akan kuulangi lagi” katanya bergegas memasuki studio dan meninggalkan manajernya yang masih dongkol.

“Hyung! Kau darimana saja? Kenapa mukamu kusut banget?” Eunhyuk memberondong pertanyaan pada Eeteuk yang baru datang. Eeteuk hanya diam saja.

“Hmm…  Bukankah kemarin sudah berakhir bahagia Hyung? Hmm.. apa kau menginap di rumah Hyosung Nuuna??” Eunhyuk melirik Eeteuk.

“YAAA!!! Apa kemarin kau menguntitku lagi?” Eunhyuk hanya tersenyum sambil menggaruk-garuk kepalanya.

“Huh!! Dasar kau ini” katanya sambil menjitak kepala Eunhyuk.

“O iya, katamu akan ada tamu penting. Siapa?”

“Dia penulis terkenal yang misterius itu loh Hyung, Soffie Hwang. Katanya dia pulang ke Korea” Kata Eunhyuk langsung bersemangat. Eeteuk yang mendengarnya tersenyum.

“Dia penulis kesukaan Hyosung. Katanya dia tak pernah menunjukkan wajahnya di  depan publik ya…”

“Iya Hyung, makanya aku yakin setelah siaran ini rating Sukira pasti langsung meningkat pesat. Soalnya dia menampakkan diri pertama kali disini. Nanti aku minta foto ah,, hehehe” Eunhyuk cengar-cengir.

@ @ @
Sementara itu, di  luar gedung Sukira.

“Kau yakin tak ingin kutemani?” tanya Kyuhyun dari balik kemudinya.

“Tak usah Oppa. Jangan terlalu  memanjakanku” Soffie tersenyum.

“Baiklah kalau begitu. Kutunggu di luar saja”

“Oppa, bukankah hari in kau ada pertemuan penting?” soffie mengingatkan Kyuhyun.

“Tapi kau lebih penting dari urusan Oppa yang manapun” katanya mengelus kepala Soffie pelan.

“Andai dia sepertimu, Oppa” soffie kembali termenung.

“kalau kau mau memberinya kesempatan, Oppa yakin dia pasti juga akan menyayangimu”
Ekspresi Soffie seketika berubah tegang.

“Jangan pernah katakan hal itu Oppa. Jangankan kesempatan, memaafkan aku takkan sudi” Soffie beranjak keluar dari mobil.

“Oppa pergilah, kolegamu pasti menunggu. Aku tak apa sendiri.”

“Tapi kalau sudah selesai telepon Oppa ya, biar kujemput.”

“Arasso”
Gadis itu memasuki gedung KBS dengan percaya diri.

@ @ @
Breeze café…

Kyuhyun berjalan cepat mendatangi perempuan yang telah lama duduk di sana.
“Mianhamnida, Hyosung-ssi. Saya terlambat” Kyuhyun menyesal.

“Gwenchansemnida Kyuhyun-ssi. Anda adalah orang yang sangat disiplin. Kalau anda terlambat berarti memang ada hal yang sangat penting yang harus didahulukan” Hyosung tersenyum.

“Oke. Silakan dimulai presentasi anda”

“Baiklah, Konsep iklan untuk café anda yang saya susun seperti ini…” Hyosung memulai presentasinya untuk mempromosikan café milik Kyuhyun.

Kyuhyun yang menyukai konsep promosi Hyosung menyetujui dan langsung menandatangani kontrak kerja.

“Terima kasih Kyuhyun-ssi”

“Ne, sama-sama. Mohon kerja samanya”

“Saya benar-benar minta maaf masalah keterlambatan saya tadi Hyosung-ssi” Hyosung hanya tersenyum.

“Tak apa Kyuhyun-ssi. Hmm.. kalau boleh tahu, masalah apa yang sampai membuat anda sampai terlambat?”

“Saya mengantar adik saya interview ke Sukira.”

“Sukira? Jadi adik anda ingin bekerja di Sukira?”

“Aniya. Adik saya jadi tamu di sukira. Dia yang diwawancarai. hehe”

“Oooh” Hyosung tersenyum faham.

“Tapi saya baru tahu kalau anda punya adik Kyuhyun-ssi”

“Sebenarnya kami tak ada hubungan darah. Kami hanya dua orang yang sama-sama bertahan hidup di negeri orang. Waktu saya masih di Indonesia, saya belum memiliki apa-apa. Dialah yang selalu menyemangati saya.”

Hyosung mendengarkan dengan seksama. Dia bisa menangkap ada sesuatu yang lain dari cerita Kyuhyun.
“Kami sama-sama berusaha keras. Hingga akhirnya saya bisa mendirikan perusahaan seperti ini dan dia jadi novelis terkenal”

“Novelis?” tanya Hyosung tiba-tiba.

“Ya, novelis. Anda pernah dengar nama Soffie Hwang Hyosung-ssi? Dia adikku” kata Kyuhyun bangga.

“Soffie Hwang? Adikmu?? Oh maaf, adik anda? Saya salah satu pengemarnya!” Hyosung bersemangat.

“Benarkah? Haha.. Wah sepertinya dia terkenal di sini”

“Benar Kyuhyun-ssi. Dia memang terkenal. Tapi tak ada seorangpun yang tahu bagaimana wajahnya. Kyuhyun-ssi, maukah anda mempertemukan  saya dengan dia?”

“Haha, tentu saja. Setelah ini saya akan menjemputnya untuk makan siang. Kalau anda ingin bertemu dengan dia, silakan ke kantor saya besok. Dia besok di sana.” Kyuhyun tersenyum geli melihat Hyosung yang penasaran dengan adiknya.

“Kyuhyun-ssi. Anda pasti sangat mencintainya” kata Sangmi tiba-tiba. Hyosung kaget.

“Tentu saja” dia tersenyum.

“Aniyo. Maksud saya anda pasti mencintainya melebihi dari seorang adik” Hyosung tersenyum. Kemudian dia menyadari sesuatu.

“Oh, maaf kalau saya lancang” Hyosung malu.

“Tak apa. Hmm… Apa begitu terlihat?” Hyosung mengangguk.

“Dari cara anda bercerita tentang dia. Apa dia tahu?”

“Belum. Dia kembali ke Korea karena ingin menyelesaikan sesuatu dengan seseorang. Setelah itu aku  akan membawanya kembali ke Indonesia.” Kata Kyuhyun sambil melihat Sungai Han. Semoga rencanaku berhasil, batinnya.
@ @ @


_to be continue_
skrip asli 6 September 2010
pindahan dari "rumah sebelah" 

Devil Inside the Breeze (File 1)



Incheon Airport, International arrival gate…
Seorang perempuan berpakaian serba hitam keluar dari bandara. Dia berhenti sejenak di dekat tempat sampah. Membuang permen karet yang sedari tadi dikunyahnya sambil menggumamkan sesuatu.

“Park Jungsoo, kehancuranmu telah datang” katanya tersenyum sinis sambil memakai kacamata hitamnya, kemudian melanjutkan jalannya dan menghilang.

@ @ @
Di tempat lain, Studio 1 SBS…
Super Junior mempromosikan album keempat mereka…

“Uri Syupe Juni OEYO!!!” teriak kesepuluh member.

“Waah, Uri Super Junior, sudah mau meluangkan waktu datang ke acara kami, Nomu Kamsahaeyo” kata MC sekaligus menutup acara talk show sore itu.

@ @ @
Ruang ganti…

“Hyung, setelah ini schedulenya apa?” tanya Eunhyuk pada manajer Suju sambil melepaskan Mic dari bajunya.

“Setelah ini kosong. Kalian bisa beristirahat di dorm sampai besok siang.” Jawab manajer mereka dan langsung mendapat respon teriakan senang dari member.

“Hyung, bisakah kau menyuruh orang mengantar mobilku ke tempat biasa?” tanya Eeteuk pada manajernya.

“Kau tidak pulang ke dorm lagi hari ini?”

“Aniyo. Aku ada urusan. Mungkin sampai larut malam. aku tidur di apartemenku sendiri saja” jawabnya sambil memakai kostum penyamaran favoritnya, hoodie berwarna hitam lengkap dengan kacamata hitamnya.

“Baiklah kalau begitu. Aku akan menyuruh orang untuk mengantar mobilmu”

“Gomawo Hyung” kata Eeteuk tersenyum.
Eunhyuk yang mendengar percakapan Eeteuk dan manajernya hanya menggelengkan kepala sambil mendekati hyung yang paling disayanginya itu.

“Kau tidak pulang ke dorm lagi hari ini?” tanyanya pada Eeteuk.

“Ne”

“Tidur di apartemenmu sendiri?”

“Hu um. Aku ada sdikit urusan”

“Apa yang kau maksud urusan itu melamun sepanjang malam di café sebelah timur sungai Han itu? Breeze café? ”

Eeteuk yang kaget dengan perkataan Eunhyuk menoleh padanya.
“Darimana kau tahu Hyuk?” tanyanya curiga.

“Apa kau mengikutiku?”

“Hyung, Kau kira aku tak tahu?” kata Eunhyuk kalem. Membuat Eeteuk semakin tercengang.

“Beberapa hari terakhir ini kau tidak pulang ke dorm. Ku kira kau ada di apartemenmu. Tapi waktu aku ke sana kau tidak ada. Akhirya kuputuskan untuk mengikutimu. Apa yang sebenarnya kau lakukan di sana Hyung? Kau terlihat seperti orang gila!”

“Jangan beritahu yang lain”

“Tak ada yang tahu. Cuma aku dan Yesung Hyung. Aku juga tak tahu Yesung Hyung bisa tahu darimana”

Keduanya terdiam, Eunhyuk menunggu barangkali Eeteuk ingin mengatakan sesuatu padanya. Tapi Eeteuk hanya diam, tak ingin mengucapkan sepatah katapun. Akhirnya Eunhyuk yang memulai percakapan lagi.

“Hyung. Kau sebenarnya ada masalah apa?”

“Tak ada”

“Gotjimal hajimayo Hyung. Kau tak mungkin bersikap seperti ini jika tak ada masalah”

“Sudahlah. Cepat pulang sana. Yang lain pasti sudah menunggumu”

Tak lama setelahnya masuklah Donghae dengan muka bersungut-sungut.

“YA! Hyuk jelek! Kau mau pulang tidak?! Kami sampai kering menunggumu di Lobby!”

“Iya iya! Sebentar lagi! Bawel sekali kau ini!”
Pletakk!!! Donghae menjitak kepala Eunhyuk.

“Kau pikir gara-gara siapa aku jadi bawel begini hah?! Ppalliwa!! Aku tunggu di bawah” Donghae berjalan keluar, lalu seperti mengingat sesuatu, dia kembali lagi dan menghampiri Eeteuk yang sedang sibuk dengan pikirannya sendiri.

“Hyung, taksi yang kau pesan sudah menunggumu di luar. O iya, jangan terlalu banyak minum dan begadang Hyung. Matamu terlihat makin cekung.” Katanya sambil menepuk bahu Eeteuk pelan lalu keluar.

Eeteuk kembali tertegun. Ternyata dongsaengnya bisa merasakan kalau ada masalah. Tapi mereka tak mengejar-ngejar dan bertanya, kecuali Eunhyuk, yang memang tidak sabaran. Dia sangat beruntung memiliki dongsaeng yang perhatian padanya.

Eeteuk merapikan semua propertinya dan bergegas keluar dari gedung. Hari ini dia akan menanti lagi. Menanti perempuan yang dicintainya. Hari ini dia harus bertemu dengan perempuan itu.

@ @ @
Breeze café, 09.00 PM KST.
Seorang pria berjalan menuju sudut café. Disana sudah duduk seorang pria lagi.

“Eeteuk-ssi, ini kunci mobilmu. Sudah kuparkir di depan café” kata pria yang ternyata pesuruh manajernya.
Eeteuk menerima kunci mobilnya.

“Gomawo Hyung” katanya sambil memberikan beberapa lembar ribuan won pada pria itu. Pria itu membungkuk dan pergi.

Eeteuk kembali larut dalam lamunannya. Sudah hampir tiga jam dia menunggu. Akhirnya perempuan yang ditunggunya tampak anggun berjalan mendekatinya. Raut wajah Eeteuk yang sebelumnya muram berubah menjadi cerah.

“Akhirnya kau datang juga, jagiya” kata Eeteuk tersenyum.
“Aku hanya punya waktu sepuluh menit. Apapun yang ingin kau katakan, sebaiknya katakan dengan cepat. Tak usah berbelit-belit” kata perempuan bernama Hyosung, kekasihnya. Eeteuk hanya bisa menghela nafas.

“Jagi, maafkan aku. Kumohon jangan marah lagi. Aku dengan Miss Korea itu tak ada hubungan apapun. Sungguh!” katanya sungguh-sungguh. Ingin sekali ia menggenggam tangan Hyosung, tapi tangan itu bersedekap rapi enggan disentuh.

“Tak ada apapun? Lalu apa yang kau lakukan di ulang tahun kedua kita? Kau lupa kan?! Kau  malah asyik sendiri di acara penghargaan dengan Miss Korea itu!” ucap Hyosung setengah menjerit.

“Aku tidak lupa jagi,, aku waktu itu ingin meneleponmu tapi keadaan tak memungkinkan. Harusnya yang datang ke acara itu Siwon, tapi kau tahu sendiri Siwon sakit. Jadi aku yang mengambil tanggung jawab sebagai leader”

“Dan kau meninggalkan kekasihmu seperti orang bodoh di sini. Menunggumu sepanjang malam, berharap kau akan datang dan tak mengulangi kesalahanmu tahun lalu. Terserah kau Leader Super Junior Eeteuk. Aku sudah lelah” tanpa terasa Hyosung meneteskan air mata.

“Jagiyaa,, kau boleh memukulku sesukamu, tampar aku kalau kau mau, tapi kumohon jangan menangis. Aku memang brengsek. Aku berjanji menjagamu tapi yang ada malah makin menyakitimu” Eeteuk  kebingungan melihat kekasihnya menangis.

“Sudahlah. Aku lelah. Pulanglah. Aku juga mau pulang”

“Hyosung-ah, aku tak akan pergi sebelum kau memaafkanku. Aku sangat mencintaimu Seo Hyosung. Kumohon percayalah padaku” katanya berlutut di depan Hyosung.

“Ya! Jungsoo. Apa-apaan kau ini?!” Hyosung kaget dengan perlakuan Eeteuk yang diluar dugaannya.

“Hyosung-ah, aku akui memang aku bodoh, tapi tanpamu aku takkan bisa hidup. Aku tak bisa melepaskanmu begitu saja. Kalau kau meninggalkanku, aku akan bernafas dengan apa?”

“Jungsoo-ya, sudah cepat bangun, orang-orang melihat kita” bisik Hyosung malu, tapi Eeteuk tetap di posisinya, malah mengeluarkan kotak beludru kecil berwarna biru.

“Hyosung-ah, aku berjanji tak akan membuatmu menangis lagi. Maukah kau menikah denganku? Narang gyeorhonhae jullhae?” katanya sambil mengeluarkan cincin.

Hyosung yang sama sekali tak memperkirakan akan dilamar seperti ini tercengang.

“Jungsoo-ah…” bisik Hyosung pelan.

“Please, Seo Hyosung, be mine, be my fiance, be my wife”
Sekali lagi gadis itu meneteskan air mata. Luluh dengan ketulusan yang ditunjukkan Eeteuk. Gadis itu  mengangguk.

“I do” Eeteuk yang mendengarnya langsung menyematkan cincin pertunangan ke jari manis Hyosung dan memeluknya. Hmm.. Sungguh akhir yang bahagia.

Tanpa mereka sadari empat pasang mata memperhatikan mereka dari dalam mobil di seberang jalan.

“Sepertinya berakhir dengan baik” kata Eunhyuk yang disetujui Donghae.

“Ya sudah, ayo kita pulang” kata Sungmin sambil menepuk bahu Siwon yang berada di belakang kemudi. Mobil itupun melaju meninggalkan Breeze café dan dua orang yang sedang berbahagia di dalamnya.

@ @ @
Di tempat lain.

Sebuah apartemen mewah di pusat kota Seoul.
Perempuan berpakaian serba hitam itu mendekati meja resepsionis.

“Saya penghuni baru kamar 1005. Mana kunci saya”
Resepsionis yang kurang senang dengan perkataan perempuan itu memeriksa data penghuni kamar 1005. Namun wajah resepsionis yang awalnya cemberut berubah cerah ketika mengetahui siapa penghuni baru tersebut.

“Oh, jadi anda Soffie Hwang penulis novel terkenal itu? Selamat datang, semoga anda nyaman tinggal di apartemen ini” sambut resepsionis ramah. Perempuan itu hanya menaikkan salah satu sudut bibirnya.

“Saya adalah penggemar karya-karya anda Soffie. Saya sangat menyukai cerita yang anda buat. Maukah anda menanda tangani koleksi saya?” resepsionis itu mengeluarkan sebuah novel berjudul Summer Breeze, novel terbaru karya soffie. setelah menandatangani novel itu Soffie bergegas ke kamarnya tanpa mengatakan apa-apa.

Sampai di depan kamarnya, Soffie tak langsung memasukinya. Dia malah berdiri memperhatikan kamar di sebelahnya, kamar nomor 1004.

Soffie berjalan pelan. Mencoba membuka pintu dengan mengetikkan sandi pengaman.

Cklek! Pintu terbuka. Senyum sinis terulas di bibir gadis itu.

“Cih! Ternyata kau masih sama, Park Jungsoo. Mudah sekali dibaca” gumam gadis itu lalu memasuki ruangan yang tak lain adalah apartemen pribadi Superjunior Leader, Eeteuk.

@ @ @
Di depan rumah Seo Hyosung.

“Kau yakin tak ingin menemaniku di apartemen?” tanya Eeteuk pada tunangannya lagi.

“Besok saja jagi, kau tahu kan, besok aku ada presentasi. Aku harus memenangkan tender besar itu” kata Hyosung.

“Baiklah, kau lebih mementingkan bisnismu daripada tunanganmu ini” Eeteuk mulai merajuk.

“Jagi, kau jangan mulai lagi deh, kalau kau main perhitungan aku bisa menyebutkan seribu dosamu padaku” Hyosung megancam sambil tersenyum.

“Iya iya jagi.. Aku kalah darimu.. Hehehe. Gag papa deh, yag penting hatimu sudah kuikat di sini” Eeteuk menunjuk jantungnya sambil tersenyum.

“Kau ini bisa saja… Kata siap….” Kata-kata sangmi tertahan oleh bibir Eeteuk. Eeteuk mencium Hyosung lama sebelum gadis itu kembali ke rumahnya.

@ @ @
Eteuk kembali ke apartemen pribadinya. Sebenarnya dia ingin kembali ke dorm agar dongsaengnya tidak menghawatirkannya, tapi ini sudah erlalu malam. dia takut akan membangunkan mereka, jadi dia memilih tidur di apartemen saja. Bagaimanapun hari ini sudah berjalan dengan baik. Masalahnya dengan gadis yang paling dicintainya dapat diselesaikan dengan baik.

Eeteuk merasa heran mengapa lampu di ruang tamunya menyala, padahal seingatnya dia sudah mematikan lampu kemarin. Ia menuju  ke ruang tengah. Tutuhnya tiba-tiba terasa membeku ketika melihat seorang gadis keluar dari dapurnya.

“Masih ingat padaku, Park Jungsoo?” kata gadis itu mendekati Eeteuk sambil membawa segelas jus jeruk.

“K..Kau??”

_to be continue_

skrip asli 3 September 2010
pindahan dari "rumah sebelah"

Friday, December 2, 2011

Kisah Pilot Bejo (Cerpen Budi Darma)



Barang siapa ingin menyaksikan pilot berwajah kocak, tengoklah Pilot Bejo. Kulitnya licin, wajahnya seperti terbuat dari karet, dan apakah dia sedang gemetar ketakutan, sedih, atau gembira, selalu memancarkan suasana sejuk. Karena itu, kendati dia suka menyendiri, dia sering dicari.


Kalau dilihat dari ilmu pengetahuan, entah apa, mungkin pula sosiologi, dia masuk dalam kawasan panah naik. Hampir semua neneknya hidup dari mengangkut orang lain dari satu tempat ke tempat lain. Ada leluhurnya yang menjadi kusir, lalu keturunannya menjadi masinis, dan setelah darah nenek moyang mengalir kepada dia, dia menjadi pilot.


Karena pekerjaan mengangkut orang dapat memancing bahaya, maka, turun menurun mereka selalu diberi nama yang menyiratkan keselamatan. Dia sendiri diberi nama Bejo, yaitu "selalu beruntung," ayahnya bernama Slamet dan karena itu selalu selamat, Untung, terus ke atas, ada nama Sugeng, 

Waluyo, Wilujeng, dan entah apa lagi. Benar, mereka tidak pernah kena musibah.
Namun ingat, kendati pilot lebih terhormat daripada masinis, dan masinis lebih dihargai daripada kusir, masing-masing pekerjaan juga mempunyai kelas masing-masing. Ada kusir yang mengangkut orang-orang biasa, ada pula yang dipelihara oleh bangsawan dan khusus mengangkut bangsawan. Slamet, ayah Pilot Bejo, juga mengikuti panah naik: ayahnya, yaitu nenek Pilot Bejo, hanyalah seorang masinis kereta api jarak pendek, mengangkut orang-orang desa dari satu desa ke kota-kota kecil, sementara Waluyo, ayah Pilot Bejo, tidak lain adalah masinis kereta api ekspres jarak jauh.


Dibanding dengan ayahnya, kedudukan Pilot Bejo jauh lebih baik, meskipun Pilot Bejo tidak lain hanyalah pilot sebuah maskapai penerbangan AA (Amburadul Airlines), yaitu perusahaan yang dalam banyak hal bekerja asal-asalan. Selama tiga tahun AA berdiri, tiga pesawat telah jatuh dan membunuh semua penumpangnya, dua pesawat telah meledak bannya pada waktu mendarat dan menimbulkan korban- korban luka, dan paling sedikit sudah lima kali pesawat terpaksa berputar-putar di atas untuk menghabiskan bensin sebelum berani mendarat, tidak lain karena rodanya menolak untuk keluar. Kalau masalah keterlambatan terbang, dan pembuatan jadwal terbang asal-asalan, ya, hampir setiap harilah.


Perjuangan Bejo untuk menjadi pilot sebetulnya tidak mudah. Setelah lulus SMA dia menganggur, karena dalam zaman seperti ini, dalam mencari pekerjaan lulusan SMA hanyalah diperlakukan sebagai sampah. Untunglah ayahnya mau menolong, tentu saja dengan minta tolong seorang saudara jauh yang sama sekali tidak suka bekerja sebagai kusir, masinis, pilot, atau apa pun yang berhubungan dengan pengangkutan. Orang ini, Paman Bablas, lebih memilih menjadi pedagang, dan memang dia berhasil menjadi pedagang yang tidak tanggung- tanggung.


Ketika dengan malu-malu Bejo menemuinya, dengan lagak bijak Paman Bablas berkhotbah: "Bejo? Jadi pilot? Jadilah pedagang. Kalau sudah berhasil seperti aku, heh, dapat menjadi politikus, setiap saat bisa menyogok, dan mendirikan maskapai penerbangan sendiri, kalau perlu kelas bohong-bohongan."


Mungkin karena wajah Bejo kocak, Paman Bablas tidak sampai hati untuk menolak. Maka, semua biaya pendidikan Bejo di Akademi Pilot ditanggung oleh Paman Bablas. Kendati otak Bejo sama sekali tidak cemerlang, akhirnya lulus, dan resmi mempunyai hak untuk menjadi pilot.
Namun, resmi mempunyai hak untuk menjadi pilot, tidak selamanya dapat menjadi pilot, bahkan ada juga yang akhirnya menjadi pelayan restoran. Mirip-miriplah dengan para lulusan Akademi Pimpinan Perusahaan. Mereka resmi berhak menjadi pimpinan perusahaan, tapi perusahaan siapakah yang mau mereka pimpin?


Andaikata dia minta tolong Paman Bablas lagi, kemungkinan besar dia akan diterima oleh maskapai besar. Namun dia tahu diri, apalagi dia percaya, darah nenek moyang serta namanya pasti akan terus melesatkan panah ke atas. Panah benar-benar melesat ke atas, ketika maskapai penerbangan SA (Sontholoyo Airlines) dibuka.


Setelah mengikuti ujian yang sangat mudah sekali, Bejo langsung diterima tanpa perlu latihan-latihan lagi, hanya diajak sebentar ke ruang simulasi, ke hanggar, melihat-lihat pesawat, semua bukan milik Sontholoyo Airlines, lalu diberi brosur. Ujian kesehatan memang dilakukan, oleh seorang dokter, Gemblung namanya, yang mungkin seperti dia sendiri, sudah bertahun-tahun menganggur. Dokter Gemblung bertanya apakah dia pernah operasi dan dia menjawab tidak pernah, meskipun sebenarnya dia pernah operasi usus buntu.


Pada hari pertama akan terbang, dia merasa bangga sekali. Dengan pakaian resmi sebagai pilot, dia menunggu jemputan dari kantor. Dia tahu, beberapa hari sebelum terbang dia pasti sudah diberi tahu jadwal penerbangannya, tapi hari itu dia tidak tahu akan terbang ke mana. Melalui berbagai peraturan dia juga tahu, paling lambat satu jam sebelum pesawat mulai terbang, pilot sudah harus tahu keadaan pesawat dengan jelas.


Demikianlah, sejak pagi sekali dia sudah menunggu di rumah, dan akhirnya, memang jemputan datang. Sopir ngebut lebih cepat daripada ambulans, menyalip sekian banyak kendaraan di sana dan di sini, karena, katanya, sangat tergesa-gesa. Dia baru tahu dari bos, bahwa hari itu sekonyong-konyong dia harus menjemput Pilot Bejo.


Begitu tiba di kantor Sontholoyo di bandara, Pilot Bejo dengan mendadak diberi tahu untuk terbang ke Makassar. Sebagai seorang pilot yang ingin bertanggung jawab, dia bertanya data-data terakhir mengenai pesawat. Dengan nada serampangan bos berkata: "Gitu saja kok ditanyakan. Kan sudah ada yang ngurus. Terbang ya terbang."


Demikianlah, dengan tangan gemetar dan doa-doa pendek, Pilot Bejo mulai menerbangkan pesawatnya. Sebelum masuk pesawat dia sempat melihat sepintas semua ban pesawat sudah gundul, cat di badan pesawat sudah banyak mengelupas, dan setelah penumpang masuk, dia sempat pula mendengar seorang penumpang memaki-maki karena setiap kali bersandar, kursinya selalu rebah ke belakang.


Hari pertama disusul hari kedua, lalu disusul hari ketiga, dan demikianlah seterusnya sampai tahun ketiga tiba. Dia tidak berkeberatan lagi untuk dijemput terlambat lalu diajak ngebut ke bandara, merasa tidak perlu lagi bertanya mengenai data-data pesawat, merasa biasa mendengar penumpang memaki-maki, dan tenang-tenang saja dalam menghadapi segala macam cuaca. Darah nenek moyang dan namanya pasti akan menjamin dia, apa pun yang terjadi.


Tapi, mengapa manusia menciptakan kata "tapi"? Tentu saja, karena "tapi" mungkin saja datang setiap saat. Dan "tapi" ini datang ketika Pilot Bejo dalam keadaan payah karena terlalu sering diperintah bos untuk terbang dengan jadwal yang sangat sering berubah-ubah dengan mendadak, gaji yang dijanjikan naik tapi tidak pernah naik-naik, mesin pesawat terasa agak terganggu, dan beberapa kali mendapat teguran keras karena beberapa kali melewati jalur yang lebih jauh untuk menghindari badai, dan entah karena apa lagi.


Demikianlah, dalam keadaan lelah, dengan mendadak dia mendapat perintah untuk terbang ke Nusa Tenggara Timur. Awan hitam benar-benar pekat. Hujan selama beberapa jam menolak untuk berhenti.
Pesawat beberapa kali berguncang-guncang keras, beberapa penumpang berteriak-teriak ketakutan. Semua awak pesawat sudah lama tahan banting, tapi kali ini perasaan mereka berbeda. Dengan suara agak bergetar seorang awak pesawat mengumumkan, bahwa pesawat dikemudikan oleh pilot bernama Bejo, dan nama ini adalah jaminan keselamatan.


"Percayalah, Pilot Bejo berwajah kocak, tetap tersenyum, tidak mungkin pesawat menukik."


Pilot Bejo sendiri merasa penerbangan ini berbeda. Hatinya terketar-ketar, demikian pula tangannya. Meskipun wajahnya kocak, hampir saja dia terkencing-kencing.


Dia tahu, bahwa seharusnya tadi dia mengambil jalan lain, yang jauh lebih panjang, namun terhindar dari cuaca jahanam. Dia tahu, bahwa dia tahu, dan dia juga tahu, kalau sampai melanggar perintah bos lagi untuk melewati jarak yang sesingkat-singkatnya, dia pasti akan kena pecat. Sepuluh pilot temannya sudah dipecat dengan tidak hormat, dengan kedudukan yang disahkan oleh Departemen Perhubungan, bunyinya, "tidak layak lagi untuk menjadi pilot selama hayat masih di kandung badan," dengan alasan "membahayakan jiwa penumpang."


Meskipun ketika masih belajar di Akademi Pilot dulu dia tidak pernah menunjukkan keistimewaan, dia tahu bahwa dalam keadaan ini dia harus melakukan akrobat. Kadang-kadang pesawat harus menukik dengan mendadak, kadang-kadang harus melesat ke atas dengan mendadak pula, dan harus gesit membelok ke sana kemari untuk menghindari halilintar. Tapi dia tahu, bos akan marah karena dia akan dituduh memboros-boroskan bensin. Dia juga tahu, dalam keadaan apa pun seburuk apa pun, dia tidak diperkenankan untuk melaporkan kepada tower di mana pun mengenai keadaan yang sebenarnya. Kalau ada pertanyaan dari tower mana pun, dia tahu, dia harus menjawab semuanya berjalan dengan amat baik.


Tapi, dalam keadaan telanjur terjebak semacam ini, pikirannya kabur, seolah tidak ingat apa-apa lagi, kecuali keadaan pesawat. Bisa saja dia mendadak melesat ke atas, menukik dengan kecepatan kilat ke bawah, lalu belok kanan belok kiri untuk menghindari kilat-kilat yang amat berbahaya, namun dia tahu, pesawat pasti akan rontok. Dia tahu umur pesawat sudah hampir dua puluh lima tahun dan sudah lama tidak diperiksa, beberapa suku cadangnya seharusnya sudah diganti, radarnya juga sudah beberapa kali melenceng.


Perasaannya sekonyong menjerit: "Awas!" Dengan kecepatan kilat pesawat melesat ke atas, dan halilintar jahanam berkelebat ganas di bawahnya. Lalu, dengan sangat mendadak pula pesawat menukik ke bawah, dan halilintar ganas berkelebat di atasnya.


Semua penumpang menjerit-jerit, demikian pula semua awak pesawat termasuk kopilot, kecuali dia yang tidak menjerit, tapi berteriak-teriak keras: "Bejo namaku! Bejo hidupku! Bejo penumpangku!" Pesawat berderak-derak keras, terasa benar akan pecah berantakan.



Cerpen pernah dimuat di harian Kompas, Minggu, 11 Februari 2007

Thursday, December 1, 2011

Welcome December! Lupakan yang lalu, dapatkan yang baru

Selamat datang bulan Decemberrrrrr!!!!

akhirnya bulan November kelabu dah berlalu. Semoga bulan ini isa jadi lembaran kehidupan baru yang isa kulalui dengan lebih sabar, optimis, dan banyak senyuman.

Lupakan yang sudah menyakiti hati, doakan agar dia memiliki kehidupan yang lebih baik, sebaik kehidupan kita. Soalnya kata pak Mario Teguh, kalau luas hati kita berbanding lurus dengan kemampuan kita melupakan hal-hal yang menyadihkan bagi kita :)

Sumangaaaaatttttt!!!!!!

Wednesday, November 30, 2011

15 Kolam Renang Paling Mengagumkan di Dunia (Indonesia termasuk!!)

Baru aja "jalan-jalan" terus nemu salah satu news di CNN yang menampilkan 15 kolam renang paling mengagumkan di dunia versi mereka. Daaann, yang bikin bangga, ternyata saudara-saudaraaaa, negara kita Indonesia masuk juga loh, 2 pula. Daerah mana ya, yang masuk?? Simak yuk :)

 The St Regis, Lhasa, Tibet
Mungkin yang membuat kolam ini unik adalah lantainya yang dilapisi dengan emas, juga pengunjung yang datang bukan hanya bertujuan untuk berenang, tapi juga yoga alias senam untuk ketenangan. Ya iya lahhh, liat emas darimana gak tenang tuh mata, eh ijo ya benernya hahahah



 Alila Uluwatu, Bali, Indonesia
Wow, Indonesia masuk, Bali pula. Memang yah Bali ini pulau "surga" yang sudah tidak diragukan lagi keindahannya sama dunia. Kolam yang boundless ini milik resort Alila yang ada di daerah Uluwatu.


 Hearst Castle, California, United States
Bayangin berenang di kolam ini dengan ditemani 'malaikat' sama langit yang bersih tanpa awan sama sekali. berasa di surgaaa :)


Huvafen Fushi, Maldives
Maldives yang disebut-sebut salah satu pulau terindah di dunia ini ternyata nggak mau ketinggalan. Lihat aja kolam Huvafen Fushi dengan lampu-lampu kecil yang meniluminasi.. kayaknya ini sayang banegt yah kalo dibuat renang. pasnya dibuat tempat candle light dinner terus tempat buat proposing juga nih, jaminan bakal diterima kalo ngelamarnya di tempat seindah ini :D



Nandana Villa, Grand Bahama, Bahamas
Kesannya kolam ini nyatuuuu banget sama laut :) Biruuuuuuu


 Alila Ubud, Bali, Indonesia
Nah, Indonesia masuk lagi. kalau yang tadi Alila Uluwatu, yang ini di Ubud. Nggak kalah indahnya..


 
The Park Hyderabad, India
Mungkin yang bikin unik dari kolam renang ini adalah sensasinya. kolamnya boundless dan berada di ketinggian gedung apartemen The Park Hyederabad. Kepleset dikiit isa jatoh g ya? :p


 Pelican Hill, California, United States
Bundeeerrr serrr.. kalo renang disini kayaknya berasa nyamuk kecemplung aer di gelas yah hahaha


Punta Tragara, Capri, Italy
Nggak heran deh kalo aktris korea Shinae impiannya pengen honeymoon di sini. View-nya tak terkalahkan :D


Sanctuary Swala, Tanzania
Mau renang sambil ditonton jerapah? ato renang barengan sama kuda nil? di sini tempatnya!! hehe bcanda ding..


 Skye, Sao Paolo, Brazil
Indah dan seksi. gatau lagi mau komentar apa. sore-sore renang atau sekadar nyelupin kaki sambil ngeteh di sini pasti cozy banget


 The Library, Koh Samui, Thailand
Thailand memang negara unik nan misterius. jadi nggak kaget kalau kolam unik ini ada di thailand. mungkin saking uniknya orang-orang pada segan mau renang di sini. Bayangin aja, harusnya image kolam renang kan biruuu, nah  ini merah banget, berasa kolam darah dibanding kolam renang,huhuhu. tapi tenag saja, belum ada yang meninggal di kolam ini kok. Hahahaha~


The Standard, Los Angeles, United States
Renang sambil nonton film di layar super gaban? bisaaaaa...


 
The Cambrian, Switzerland
Mungkin ini jadi kolam terunik di dunia. soalnya liat aja, siapa yang mau kungkum di tempat yang berhawa super dingin dan dikelilingi gunung salju? kecuali kalo kamu memang pengen challenge Fear Factor ato memang pengen bundir. haha. Tapi nggak usah khawatir, kolam ini pake air hangat kok, jadi gak bakal kena hipotermia kalo renang di sini. yang ada malah bikin doyan berendem. :)

Sumber : CNN dan berbagai sumber

Monday, November 28, 2011

Dokter (Cerpen Putu Wijaya)


Banyak yang tidak bisa diatasi oleh ilmu kedokteran. Bagaimana pembuahan di luar rahim, dalam bayi tabung, dipastikan akan menumbuhkan janin ketika dicangkok ke rahim ibu? Virus influenza, HIV, flu burung sampai sekarang masih dicari obatnya. Di luar itu masih ada musuh bayangan yang ampuh: dukun.

Seperti kata Dokter John Manansang yang malang-melintang di belantara Boven Digul, masyarakat pedalaman cenderung menunda pergi ke dokter, karena lebih dulu mau konsultasi ke dukun. Kalau yang sakit sudah sekarat, baru dibawa ke puskesmas. Biasanya pasien parah langsung diinfus, sehingga ketika maut tiba, masyarakat cenderung melihat jarum infuslah yang membunuhnya. Sulit menjelaskan kalau sudah ajal, tanpa diinfus atau tidur di hotel bintang lima pun, manusia tetap mati.

Pada suatu malam, saya dijemput untuk mengobati orang yang menurut dukun dapat kiriman ular berbisa dalam perutnya. Ketika sampai di puskesmas, saya lihat tubuh orang itu sudah kaku. Dia pasti sudah meninggal di rumahnya. Tetapi keluarganya memaksa saya untuk mengeluarkan ular itu.

"Pak Dokter harus tolong kami. Dia itu kepala keluarga. Hidup-mati kami tergantung pada dia!"

"Tapi sudah terlambat."

"Terlambat bagaimana, kami sudah bawa kemari pakai taksi! Uang kami sudah banyak keluar!"

"Tapi sebelum dibawa kemari nampaknya dia sudah tidak ada!"

"Itu tidak mungkin! Setiap hari lima orang dukun kami bergantian menjaga dia. Tidak mungkin roh jahat itu bisa masuk lagi. Pak Dokter mesti keluarkan ular itu dari perutnya!"

"Kalau toh itu benar ada ular dikirim ke perutnya, tidak ada gunanya, sebab orangnya sudah meninggal."

"Makanya keluarkan ular itu cepat. Pak Dokter jangan ngomong terus!"

"Kami memang miskin, tidak bisa bayar, tapi ini kewajiban Dokter mesti tolong kita punya kepala keluarga!"

"Jangan bikin kami tambah susah, Dokter! Mentang-mentang kami orang kecil!"

"Cepat bertindak!"

Saya disumpah untuk menjalankan praktik sesuai dengan etik kedokteran. Tetapi, di dalam hutan, itu tidak berlaku. Saya bisa dibunuh kalau tidak melakukan apa yang mereka minta, karena saya dokter, saya dianggap wajib bisa menyembuhkan orang sakit.

Disaksikan keluarganya, saya bedah mayat itu. Saya buktikan tidak ada ular di perutnya seperti kata dukun. Dia mati karena kurang gizi dan salah menenggak ramu-ramuan dukun. Tetapi meskipun sudah melihat kenyataan dengan mata kepalanya sendiri, keluarganya tidak percaya. Mereka malah menuduh saya yang sudah terlambat bertindak.

"Kalau Pak Dokter langsung bertindak tadi, tidak akan terlambat."

"Terlambat bagaimana?!"

"Kata dukun, ular itu sudah masuk ke dalam tulang-sumsumnya, bersatu dengan darah. Dibawa ke China pun dia akan tetap mati, apalagi hanya ke puskesmas yang fasilitasnya berengsek ini. Dokter tidak bertanggung jawab!"

"Dokter harus bertindak!"

"Bertindak bagaimana lagi? Paling banter saya hanya bisa menulis surat kematian pasien supaya bisa dibawa pulang!"

"Tidak bisa! Kita tidak bisa bawa dia pulang dalam keadaan sudah jadi mayat. Dia harus terus hidup! Dia kita bawa kemari untuk maksud supaya dia bisa sembuh. Masak Dokter mau kirim lagi dia pulang supaya jadi mayat. Kasihan keluarganya, Dokter! Dia itu andalan hidup keluarganya, tahu?! Dia tidak boleh mati!"

"Tapi ajal itu di tangan Tuhan, kita hanya bisa berusaha!"

"Makanya, kau harus berusaha terus, Dokter!"

"Berusaha bagaimana lagi?"

"Panggil! Kejar sekarang!"

"Kejar ke mana?"

"Ayo kejar! Kata dukun dia belum jauh. Paling berapa kilometer. Kalau Dokter cepat bertindak, tidak cuma ngobrol, dia pasti bisa disusul!"

"Disusul?"

"Ah, kau lambat sekali. Beta bilang kejar! Kejar!"

Mereka mendorong saya masuk ke dalam kamar, memaksa saya menarik orang mati itu kembali dari kematiannya. Mereka bahkan bilang siap membantu saya dengan senjata kalau nantinya harus berkelahi.

"Kami bisa panggil kawan-kawan yang lain sekarang untuk bantu. Kami juga punya saudara yang jadi perwira militer. Kita bisa pinjam senjata kalau memang perlu, asal habis jam kantor!"

"Ayo Pak Dokter, jangan terlalu banyak diskusi, nanti terlambat lagi! Kau ini dokter atau mantri?!"

Saya terpaksa kembali ke dekat mayat itu. Sepanjang malam mereka berjaga di sekitar puskesmas dengan segala macam senjata siap tempur. Ada yang menangis, berdoa, dan menyanyi. Dukun pun terus menjalankan upacara, mengeluarkan jampi-jampi agar roh yang mereka anggap sudah diculik suku lain itu pulang.

Saya bingung. Saya duduk di sisi mayat kehabisan akal. Apa yang harus saya lakukan untuk keluar dari persoalan yang tidak menyangkut bidang kedokteran itu. Saya tidak mengerti kehidupan di alam gaib. Akhirnya saya tertidur juga karena terlalu capek.

Pagi-pagi pintu digedor. Orang-orang itu berteriak-teriak tidak sabar, ingin tahu apa hasilnya. Tubuh yang meninggal pun sudah mulai berbau. Wajahnya meringis kesakitan, seakan-akan minta cepat-cepat dikuburkan. Waktu itu saya tidak berpikir lagi seperti seorang dokter sebagaimana yang saya pelajari di kampus. Saya terpaksa menjadi dukun.

Saya rogoh saku, gaji yang saya hendak kirim ke rumah masih utuh. Lalu saya buka pintu.

"Bagaimana?"

"Tenang!"

"Tenang bagaimana? Kami tidak mau Dokter bilang sudah gagal!"

"Saya sudah berusaha."

"Dan hasilnya?"

"Lumayan."
 
"Ah, apa itu itu artinya lumayan, kita orang tidak suka! Itu bahasa orang birokrat yang suka menipu. Bilang saja terus-terang, berhasil atau tidak?"

"Berhasil." Mereka tercengang.

"Jadi dia hidup lagi?"

"Bapak-bapak mau dia hidup lagi atau tidak?"

"Sudah pasti kita mau dia orang hidup lagi. Itu maka kita bawa dia kemari!"

"Saya sudah mencoba."

"Terus hasilnya?"

"Itu," kata saya menunjuk pada mayat.


Semuanya melihat melewati tubuh saya ke arah mayat itu. Saya berikan ruang agar mereka lewat, tapi tidak ada yang mau. Bau mayat itu menyebabkan semuanya tertegun. Dukun sendiri malah mundur selangkah.. Mereka semua nampak bimbang. Kebimbangan itu justru membangkitkan keberanian saya. Saya mulai tahu apa yang harus dilakukan.

"Ayo!"

Orang-orang itu tambah ragu-ragu, tak percaya apa yang saya katakan. Tak percaya apa yang sedang mereka lihat.

"Jadi dia hidup lagi?"

Saya mengangguk. Mereka curiga. Tapi tidak ada yang berani memeriksa.

"Kalau dia hidup mengapa tidak bergerak?"

"Dan mengapa bau?"

"Tadi dia sudah hidup, sekarang sedang tidur."

"Tidur?"

"Ya. Tidur untuk selamanya."

"Apa?!!!!"

"Tapi dia meninggalkan pesan."

"Pesan apaan!? Kita tidak perlu pesan, kita hanya mau supaya dia hidup lagi!!!"

Saya tidak peduli apa yang mereka katakan. Lalu saya mengulurkan amplop uang gaji.

"Kata dia sebelum tidur, berikan ini kepada istri, anak-anak dan keluargaku yang aku tinggalkan. Sampaikan kepada mereka, tenang semua, biarkan aku istirahat sekarang, karena aku sudah lelah sekali. Puluhan tahun berjuang menghidupi keluarga, aku tidak sanggup lagi bekerja!"

Orang-orang itu terdiam. Mereka hanya memandang amplop yang saya berikan. Tapi kemudian dukun perlahan-lahan maju. Ia memperhatikan amplop yang saya tunjukkan. Diendus-endusnya dari jauh. Setelah mengucapkan mantera lalu ia mengulurkan japit untuk mengambilnya. Setelah merobek dan mengeluarkan isinya, ia menghitung. Bahkan sampai tiga kali. Kemudian ia melihat kepada orang-orang itu, lantas membagikan uang sambil menahan beberapa di tangannya.

Orang-orang itu menerima uang tanpa menanyakan apa-apa. Seakan-akan itu memang sudah hak mereka. Setelah dukun mengeluarkan mantera, mereka lalu bergerak. Beberapa orang menyanyi, yang lain menghampiri mayat, lalu membawa yang meninggal itu dengan tertib keluar dari puskesmas untuk dikuburkan.

Saya sama sekali tidak ingin mengatakan bahwa saya sudah berhasil membeli kesedihan mereka dengan uang. Tidak. Saya sama sekali tidak melihat persoalan itu dari kacamata orang kota yang sinis. Apalagi jumlah yang saya berikan juga tidak banyak. Saya hanya mencoba memahami itu sebagai akibat ulah saya yang berhasil berbicara, menyampaikan duka yang amat berat bagi mereka itu, dengan bahasa yang mereka pahami.

Barangkali mereka senang karena saya tidak menyalahkan dukun. Puas karena saya tidak mencela mereka terlambat membawa sang sakit ke puskesmas. Tidak melecehkan keberatan atau protes mereka pada nasib, karena yang meninggal memang benar-benar dibutuhkan oleh keluarganya sebagai tiang kehidupan. Mungkin juga mereka senang karena saya tidak mengabaikan perasaan-perasaan mereka, karena saya tidak menganggap kebenaran kata sayalah yang paling benar.

Tapi setelah itu banyak perubahan yang terjadi. Saya jadi terseret ke dalam situasi yang membuat saya lebih gagap. Saya ternyata sudah mengayunkan langkah ke dunia yang sama sekali asing. Begitu kejeblos, saya langsung kelelap, lantaran saya sama sekali tidak siap.
Sejak itu saya sering diminta untuk mengobati mayat. Profesi saya sebagai dokter yang harus berhadapan dengan orang yang mau bertahan hidup, berubah menjadi pengurus orang mati. Walhasil saya sudah menyalahi sumpah. Berkhianat dan berdosa kepada almamater saya.

Tak jarang yang dibawa pada saya mayat dukun yang sebelum mati sudah berkali-kali wanti-wanti agar nanti dibawa ke puskesmas. Kalau saya tolak, bisa jadi konflik, karena saya sudah telanjur dipercaya. Saya sudah memulai dan membangun sesuatu, kalau saya runtuhkan lagi, saya akan berhadapan dengan kekecewaan dan bukan tidak mungkin kekerasan.

Setiap kali mengobati mayat, saya tidak punya kiat lain kecuali saya harus merogoh saku, mengeluarkan duit. Mengulur semacam pelipur, atau apa sajalah namanya, untuk mentolerir duka yang tak bisa mereka elakkan. Akibatnya saya cepat sekali bangkrut.

Barang-barang saya jual satu per satu sampai saya kehilangan segala-galanya. Termasuk cincin pemberian ibu saya. Sementara itu, kondisi kesehatan di daerah terpencil tambah rawan. Frekuensi orang mati terus saja bertambah dan semuanya dibawa ke puskesmas, minta agar saya mengobatinya.

Pernah saya sampai berpikir itu sudah sampai pada tingkat pemerasan. Saya tidak percaya orang-orang pedalaman itu sesungguhnya sebodoh itu. Itu bukan kebodohan lagi tetapi justru kecerdasan. Itu kiat yang dengan lihai menyembunyikan dirinya di balik keluguan. Strategi "orang bodoh" untuk membunuh lawan pintar yang lebih kuasa dengan halus.

Pada suatu malam, datang di puskesmas mayat seorang kepala suku. Badannya penuh dengan luka parang. Kepalanya sudah putus dari tubuh. Rombongan pengantarnya banyak sekali. Hampir seluruh suku ikut mengarak memenuhi halaman puskesmas.

"Kami berkelahi mempertahankan kehormatan kami dari serangan suku buas," kata putra kepala suku. 

"Sebelum perang, Bapa sudah berpesan kalau terjadi apa-apa supaya dibawa kemari. Tolong hidupkan Bapa kami, Dokter, karena kalau sampai dia mati, berarti kami kalah dan malu besar! Kami mempertaruhkan kehormatan seluruh warga kami!"

Saya termenung di depan mayat itu. Kepalanya bisa saya sambung, tapi ke mana saya cari ganti nyawanya yang hilang? Para pejuang suku itu berjaga-jaga di sekitar puskesmas dengan senjata-senjata mereka. Banyak di antaranya yang terluka, tetapi mereka tidak peduli. Mereka hanya ingin kepala sukunya kembali hidup supaya pertempuran bisa dilanjutkan.

Saya bingung. Tak ada duit sepeser pun lagi di kantong. Lebih dari itu, duit tak akan mungkin dapat menyenangkan hati suku kaya yang merasa dipermalukan itu.

Saya benar-benar cemas. Saya kira karir saya sebagai dokter sudah tamat. Di samping itu, akhir hidup saya juga nampak sudah tiba. Mereka pasti akan kecewa sekali, karena saya memang bukan dukun yang sebenarnya.

Perasaan berdosa yang sejak lama sudah menekan, sekarang menghajar saya. Saya sudah berpura-pura jadi dukun agar bisa nyambung dengan masyarakat, tetapi ternyata tidak cukup. Saya dituntut menjadi dukun yang sebenarnya. Itu mustahil. Mestinya saya sudah cabut sejak kasus pertama.

Semalam suntuk saya tidak bisa memejamkan mata. Subuh, pintu dibuka dan anak kepala suku beserta seluruh prajuritnya yang berang itu menatap saya.

"Berhasil, Dokter?" Tubuh saya gemetar.

"Jangan kecewakan kami, Dokter!"
 Saya tidak berani menjawab.

"Kehormatan buat kami paling penting. Kami boleh kelaparan karena tidak dapat binatang perburuan, boleh mati karena wabah penyakit, boleh kocar-kacir karena kebakaran, gempa, banjir, longsor atau letusan gunung berapi, tapi jangan sampai kalah dan menanggung malu. Bapa orang kebal yang selalu menang dalam pertempuran. Dia tidak boleh mati karena senjata lawan. Kehormatan kami akan hilang selama-lamanya. Lebih baik kami musnah daripada menanggung malu karena kalah!"

"Saya paham itu."

"Kalau begitu hidupkan lagi Bapa."

"Saya sudah berusaha."

"Kami tidak mau hanya usaha. Kami mau ada hasil!"

"Tapi ?"

"Kalau satu hari tidak cukup, kami bisa tunggu. Bila perlu sebulan atau setahun kami bisa tunggu di sini, asal dia bisa hidup lagi. Bapa saya itu raja. Apa artinya orang-orang ini, kalau Bapa tidak ada?"

"Ya, itu saya juga mengerti sekali. Kapal tidak bisa jalan tanpa nakhoda!"

"Makanya hidupkan lagi Bapaku. Otaknya rusak juga tidak apa, asal hidup. Bapa saya itu lambang. Kami semua ada karena dia hidup. Kalau dia mati, kami semua akan mati. Apa Dokter perlu nyawa pengganti?"

"Apa?"

"Sepuluh bahkan seratus orang dari kami sekarang juga mau menyerahkan nyawanya asal bisa menggantikan nyawa Bapa. Hidupkan dia sekarang, Dokter!"

"Darah tumpah itu bisa diganti dengan tranfusi, tapi nyawa tidak mungkin."

"Tapi, kau dokter kan?!"

"Betul."

"Orang-orang lain mati sudah kau hidupkan, kenapa Bapa kami tidak? Apa bedanya? Bapaku itu selalu cinta perdamaian. Dia cinta kami semua. Dia selalu menyanyikan lagu kebangsaan dan memimpin upacara bendera, tidak seperti orang-orang lain yang pura-pura saja cinta supaya dapat uang dari negara, tapi cintanya palsu. Kenapa orang yang berjuang seperti Bapa dibiarkan mati? Ayo, Dokter!"

Saya tidak sanggup menjawab.

"Dokter mau biarkan aku punya Bapa mati?"

"Tidak."

"Kalau begitu, hidupkan dia sebab dia sangat mencintai negara! Mengapa orang-orang yang tidak mencintai negara dibiarkan hidup tapi Bapaku yang berjuang untuk negara tidak? Tolong, Dokter!"

"Beliau sekarang akan meneruskan perjuangan dari dunia maya, supaya musuh dapat diberantas."

Anak kepala suku itu kaget.

"Maksud Dokter, Bapaku mati?"

Saya tidak mampu menjawab. Anak kepala suku itu sangat kecewa. Mukanya langsung keruh. Semua pengikutnya marah lalu berteriak-teriak histeris. Mereka melolong seperti binatang liar. Saya ketakutan. Para prajurit itu mengangkat senjata seperti hendak mencincang apa saja yang ada di puskesmas. Semua pegawai meloncat lari menyelamatkan diri.

Karena bingung saya mundur menghampiri meja. Dengan panik, di belakang punggung tangan saya meraba-raba mencari sesuatu untuk bertahan. Kalau saya harus mati, saya tidak mau mati terlalu konyol. Kalau kalah, kalahlah dengan indah dan gagah, pesan orang tua saya waktu kecil.


Harapan saya ada gunting, pisau atau barang tajam lainnya, tidak terkabul. Di laci, tangan saya hanya menemukan copotan besi bendera mobil yang dikibarkan pada peringatan hari kemerdekaan. Saya genggam besi itu, lalu mencoba mengambil posisi bertahan. Saya bukan lagi dokter, saya penakut yang tiba-tiba begitu mencintai hidup walau betapapun berengseknya.

"Diam!!!!" teriak anak kepala suku itu dengan suara menggeledek.
Teriakannya membuat semua terdiam. Saya gemetar. Besi bendera itu terlepas, tetapi cepat saya gapai lagi. Itulah satu-satunya pegangan saya. Anak kepala suku itu menghampiri saya, hangat nafasnya membuat saya tersiraf.


"Jangan tembak!!!"

Dengan gemetar saya tunjukkan itu bukan pistol. Itu hanya tiang bendera yang copot.
Anak kepala suku tertegun. Ia memperhatikan tiang bendera yang berisi merah-putih kecil yang sudah kumal. Tiba-tiba saya melihat peluang. Lalu entah dari mana datangnya keberanian, saya berbisik.

"Pahlawan tidak pernah mati. Semangat berjuang tidak bisa mati!"

Pemuda itu terpesona. Ia seakan-akan terpukul oleh suara saya. Orang-orang lain pun tegang. Mereka memandang kami dengan mata mencorong. Lutut saya tambah lemas. Saya tak sanggup lagi bicara. Apa pun yang akan terjadi, saya menyerah. Anak kepala suku itu menggapai tiang bendera. Saya kira sebentar lagi dia akan menusukkannya ke dada saya. 

Tapi ajaib, tidak. Pangeran itu memandang bendera kecil itu dengan takjub, lalu ia menunjukkan kepada teman-temannya.

"Semangat berjuang hidup terus tidak bisa mati!" serunya.

Sedetik hening. Tetapi kemudian semua meledak, bersorak gegap-gempita.
Kemudian dengan khusuk mereka mengusung jasad almarhum dibawa ke desa mereka untuk dikebumikan. 


Sejak itu, bukan orang mati, tetapi orang yang tidak mau mati yang datang ke puskesmas. Mereka tidak hanya mencari obat, tetapi terutama kasih-sayang. Kalaupun kemudian karena sudah ajal, ada orang sakit yang mati, tapi puskesmas tidak pernah lagi dianggap sebagai pembunuh. Saya sendiri tidak peduli lagi apakah saya masih seorang dokter atau sudah jadi dukun. Saya hanya ingin mencintai saudara-saudara saya itu.


Pernah dimuat di harian Jawa Pos pada Minggu, 16 Desember 2007