Pada zaman dahulu kala, saat
bumi kita masih segar, banyak pohon-pohon rindang dan hijau, kehidupan berjalan
dengan tenteram dan damai. Di sebuah kerajaan, Kerajaan Jayapati namanya,
rakyatnya hidup dengan rukun dan damai. Sang raja, yakni Raja Martapati
memerintah kerajaan dengan adil dan bijaksana, sehingga rakyat mencintai sang
raja tersebut. Begitu juga dengan menteri dan utusan kerajaan menjalankan
perintah sang raja dengan patuh. Raja
sering memerintah menterinya untuk melihat kehidupan rakyatnya secara langsung.
Bahkan sering kali sang raja sendiri yang turun ke desa-desa untuk melihat
keadaan rakyatnya. Raja juga sering memberikan hadiah kepada rakyat yang
bekerja keras untuk meningkatkan hasil pertaniannya. Hadiah dan bentuan juga
sering diberikan pada anak-anak yatim piatu. Rakyat pun bekerja dengan giat dan
sangat menghormati sang raja. Kehidupan di kerajaan itu berlangsung dengan
makmur.
Namun sebenarnya, sebuah
kesedihan terbersit di dalam keluarga kerajaan itu sendiri. Sang raja dan
permaisuri telah menikah lebih dari tiga puluh tahun, namun mereka belum
dikaruniai seorang anak pun. Sedangkan umur raja sudah hampir mencapai lima
puluh tahun, sebentar lagi turun tahta. Mereka berdua sangat sedih karena belum
mendapatkan penerus pemimpin kerajaan. Permasalahan itu membuat baginda raja
Martapati bersedih. Baginda jadi suka termenung, bahkan kadang-kadang seperti
menangis. Bukan hanya sang raja yang bersedih, permaisuri juga demikian, sering
kali termenung bahkan tidak tidur dan tidak makan. Keluarga istana ikut
bersedih melihat kesedihan raja dan permaisuri mereka.
Kesedihan sang baginda raja
dan permaisuri tak hanya diketahui oleh keluarga kerajaan saja, namun seluruh
rakyat kerajaan Jayapati telah mengetahui bahkan ikut merasakan kesedihan raja
mereka. Akhirnya seluruh rakyat melaksanakan doa bersama dipimpin oleh tetua
kerajaan selama 7 hari 7 malam. Mereka berharap pada Tuhan Yang Maha Kuasa
untuk memberikan penerus raja Martapati, sehingga dapat mewarisi kebijaksanaan
sang raja, mereka juga memohon pada Tuhan agar negeri mereka selalu aman dan
makmur. Raja dan permaisuri juga turut memanjatkan doa pada Yang Maha Kuasa.
Mereka berdua sedikit terhibur atas perhatian yang diberikan rakyat pada
mereka. Dan sebagai ungkapan perhatian rakyat, setiap hari selalu saja ada
rakyat yang memiliki keterampilan seperti penari, penyanyi dan pesulap
didatangkan atau dengan suka rela datang sendiri ke kerajaan untuk menghibur
baginda raja dan permaisuri.
Selain menghibur raja dan
ratu, doa-doa pun masih terus dipanjatkan oleh rakyat. Hingga dua bulan
kemudian tersiar kabar bahwa permaisuri hamil. Kabar itu disambut baik oleh
semua orang. Seluruh keluarga istana bergembira. Rakyatpun demikian.
Dimana-mana rakyat berpesta pora untuk
menyatakan rasa suka citanya akan hadirnya sang putra mahkota. Berbagai tarian
dan nyanyian bergema di seluruh pelosok negeri. Rakyatpun berpesta siang malam
hingga lupa bekerja. Awalnya sang baginda juga turut berbahagia dan berpesta,
namun lama-kelamaan setelah melihat tingkah laku rakyatnya yang semakin tidak
terkendali, menimbulkan rasa khawatir dalam diri baginda. Sang baginda raja
akhirnya memerintah rakyat seluruh negeri untuk tidak bersikap berlebihan. Raja
memerintah untuk menghentikan tarian dan nyanyian serta perilaku rakyat yang
berfoya-foya dan diganti dengan berdoa di rumah masing-masing demi kebaikan
sang putra mahkota yang akan lahir.
Delapan bulan kemudian
lahirlah sang putra mahkota. Ia adalah bayi laki-laki dengan wajah yang
rupawan. Sang baginda raja dan permaisuri sangat berbahagia. Seluruh rakyat dan
keluarga istana juga berbahagia dan bersyukur atas lahirnya sang putra mahkota.
Bayi kecil itu pun diberi nama Indrapati. Pangeran Indrapati tumbuh menjadi
anak yang sangat tampan dan cerdas. Begitu banyak yang ingin diketahuinya, baik
di dalam maupun di luar istana. Pangeran juga tumbuh sebagai anak yang
penyayang terhadap sesama. Sang baginda raja Martapati semakin bangga dan
bersyukur atas kehadiran putra mahkota.
* * *
Di ujung negeri Jayapati ada
sebuah kampung yang terpencil. Kampung itu hanya dihuni oleh beberapa keluarga
saja. Pekerjaan penduduk kampung itu bertani. Kadng-kadang mereka juga
menangkap ikan di sungai dan mengumpulkan hasil hutan dari bukit yang ada di
sekitar kampung itu. Meski jauh dari kota, penduduk kampung itu hidupnya
berbahagia.
Tersebutlah seorang anak
laki-laki di kampung itu yang bernama Danar. Anak itu wajahnya tampan sekali.
Disamping itu, perangainya pu menarik hati. Ia anak yang baik hati, pemurah,
penyayang, dan suka menolong. Semua orang suka kepada Danar.
Suatu hari, saat mencari kayu
bakar di hutan, Danar kelelahan dan memutuskan untuk beristirahat di bawah batang pohon yang
rindang. Danar akhirnya tertidur dengan pulas. Kesejukan di bawah pohon itu
lebih mengenakkan tidur Danar.
Dalam tidur itu Danar
bermimpi. Ia merasa badannya telah kuat kembali. Badannya terasa ringan. Ia
dapat lincah bergerak ke sana kemari. Dengan mudah pohon yang besar dan tinggi
itu dipanjatnya. Ia memanjat cepat sekali. Pohon yang dipanjatnya itu semakin
tinggi pula. Makin ke atas batangnya semakin kecil namun tetap kuat. Danar
terus memanjat, namun ia tak merasa letih sedikitpun.
Akhirnya, Danar sampai ke puncak
pohon itu. Ketika ia memandang je bawah, ia tidak melihat hutan lagi, yang
dilihatnya hanya awan putih yang sedang bergerak dihembus angin. Tahulah Danar
bahwa ia berada di tempat yang sangat tinggi. Ia tidak mau turun. Ia ingin
melihat segala sesuatu yang ada di tempat setinggi itu. Namun ia tidak tahu
bagaimana caranya melihat sekeliling sedangkan ia tidak bisa terbang seperti
burung.
Ketika Danar masih berpikir
tentang apa yang akan dilakukannya, tiba-tiba terasa pucuk pohon itu hilang.
Tidak ada sesuatu yang menopang tubuhnya lagi, namun ia tidak terjatuh. Danar
merentangkan kedua tangannya ke samping dan mencoba meloncat, ternyata... Danar
bisa terbang!! Ia senang sekali, ternyata ia bisa terbang seperti burung. Ia
terbang ke sana kemari. Ia berpacu dengan awan, dan kejar-kejaran dengan burung
yang berbulu keemasan.
Danar terbang terus, makin
lama makin jauh. Sekarang keadaan semakin terang. Keadaan di bawah semakin
jelas dilihatnya. Dari jauh ia melihat
sesuatu yang gemerlapan, indah sekali. Danar tertarik untuk terbang ke sana.
Makin lama makin dekat dan apa yang dilihatnya semakin jelas, yaitu sebuah
istana yang sangat megah dan indah.
Di istana itu ternyata ada
seorang anak laki-laki yang sebaya dengan Danar sedang bermain-main. Anak
laki-laki itu wajahnya amat tampan dan pakaiannya pun bagus sekali. Ia
mempunyai mainan yang banyak sekali, yang sebagian besar belum pernah dilihat
oleh Danar. Ketika nak laki-laki itu melihat ke atas, rupanya ia melihat Danar
yang sedang terbang. Anak laki-laki itu sangat gembira melihat ada anak sebaya
dengannya bisa terbang. Ia melonjak-lonjak memanggil Danar supaya mau turun.
Danar juga ingin ikut bermain dengan anak laki-laki yang berada di dalam istana
itu.
Tanpa pikir panjang Danar
menukik ke bawah. Melihat Danar turun, anak laki-laki di iastana itu tampak
sangat bergembira. Ia menyambut kedatangan Danar. Danar dan anak itu
mengulurkan tangannya masing-masing hendak memperkenalkan diri. Saat kedua
tangan anak itu hampir bertemu, tetapi... tiba-tiba Danar terbangun dari
tidurnya karena terkejut. Tangan kanan Danar terasa nyeri akibat tertimpa buah
pohon besar yang tadi disandarinya.
Danar tertegun-tegun,
kadang-kadang tersenyum sendiri. Ia agak kecewa karena tidak jadi bermain-main
dengan anak laki-laki yang tinggal di dalam istana yang indah itu.
“Ah, tidak apa-apa. Itu kan
hanya mimpi,” kata Danar menghibur dirinya sendiri. Ia kemudian mencuci mukanya
di kolam kecil sebelah pohon lalu bergegas pulang membawa kayu bakar yang telah
ia kumpulkan di hutan. Ia teringat ibunya yang sedang menunggu di rumah.
* * *
Putra mahkota Indrapati
sekarang telah beranjak besar. Umurnya hampir mencapai 14 tahun. Namun selama
hidupnya ia belum pernah keluar istana Raja Martapati sangat mencintai putra
mahkota itu. Semua pegawai istana dipesan oleh baginda raja agar menjaga putra
mahkota dengan sebaik-baiknya. Putra mahkota tidak boleh terluka sedikit pun
juga. Ia juga tidak boleh mengalami kesusahan. Namun seiring tumbuhnya fisik,
pemikiran sang pangeran Indrapati juga semakin berkembang. Ia ingin mengetahui
keadaan di luar istana. Ia pernah ikut baginda raja mengunjungi rakyat, di sana
ia tidak hanya melihat rakyat yang bahagia. Ia juga melihat seorang anak kecil
yang kecil menangis yang dipukul oleh ibunya. Anaknya menangis meraung-raung,
tapi sang ibu malah menyeretnya masuk ke dalam rumah. Pangeran tidak mengerti
apa yang dipikirkan ibu semacam itu. Pangeran juga yakin bahwa masih banyak hal
yang tidak ia ketahui di luar istana. Hal itu membuat pangeran semakin ingin menjelajah
ke luar istana.
Hal tersebut membuat pangeran
sering berpikir dan termenung sendirian dan tingkah laku pangeran agak berubah.
Ia menjadi pemurung. Kadang-kadang tampak sedih sekali. Pada yang dan pengawal
mulai bertanya-tanya tentang perubahan yang terjadi pada putra mahkota kerajaan
mereka. Lama kelamaan baginda raja Martapati pun mengetahui perubahan diri
putranya tersebut. Baginda mendatangi putranya untuk menanyakan apa yang sedang
disusahkannya.
“Apakah yang sedang kau
risaukan, putraku? Katakanlah segala keinginanmu pesti Ayahanda kabulkan” kata
raja Martapati kepada putra mahkotanya dengan penuh kasih sayang.
“Ampun Ayahanda. Hamba tidak
ingin apa-apa. Hamba hanya ingin tahu lebih banyak tentang dunia ini,” jawab
sang putra mahkota.
“Apa maksudmu, Nak? Bukanlah
segala sesuatu sudah tersedia di istana ini untukmu?”
“bukan itu, Ayah. Hamba ingin
mengetahui keadaan di luar istana ini. Apakah disana terjadi perkelahian,
sakit, kesengsaraan ataupun kejahatan-kejahatan lain?”
Mendengar pertanyaan putranya
itu, baginda raja amat terkejut. Baginda tidak ingin putranya itu memikirkan
hal-hal yang bukan-bukan, apalagi memikirkan tentang kesengsaraan, sakit,
kejahatan, dan sebagainya. Baginda ingin agar putra mahkotanya hanya memikirkan
kesenangan saja. Jangan sampai putra satu-satunya itu mengetahui
kejelekan-kejelekan yang ada di dunia ini.
Baginda raja berpendapat bahwa
dengan mengetahui dan memikirkan kejelekan-kejelekan yang terjadi itu nantinya
putra mahkota akan terbawa sifatnya menjadi jelek dan penjahat sehingga
akhirnya tidak patut menjadi raja. Dan, apabila sang putra mahkota sampai keluar
dari istana, baginda takut bahwa putranya itu akan menderita.
Akhirnya baginda raja menugasi
para pengawal dan dayang-dayang untuk lebih baik lagi dalam melayani putra
mahkota. Para pengawal diperintahkan lebih ketat lagi menjaga istana. Orang
dari luar istana sama sekali tidak boleh menemui putra mahkota dan putra
mahkota sama sekali dijaga agar tidak keluar dari istana. Namun pemikiran putra
mahkota yang cerdas itu berjalan terus. Ia selalu memikirkan apa yang ada di
luar istana. Sekarang segala yang di dalam istana sudah terasa membosankan. Ia
ingin keluar dari istana untuk mempelajari kehidupan yang sebenarnya.
* * *
Hari sudah pukul sembilan
pagi. Semua petugas di istana sudah sibuk dengan pekerjaannya masing-masing.
Tetapi, para petugas yang melayani putra mahkota belum melaksanakan
kewajibannya karena putra mahkota belum juga bangun. Mereka bertanya-tanya,
apakah yang menyebabkan putra mahkota belum bangun, apakah putra mahkota sakit?
Biasanya paling lambat pukul enam pagi putra mahkota sudah bangun, kemudian
mandi dan berpakaian. Setelah makan pagi, pukul delapan berlatih naik kuda di
lapangan istana.
Tetapi hari ini tidak seperti
biasanya. Para pelayan takut untuk membangunkan putra mahkota. Seorang pengawal
yang agak berani mengetuk pintu kamar putra mahkota dan menengok ke dalam. Di
tempat tidur masih tampak ada yang sedang tidur dengan nyenyak di bawah selimut
tebal. Pelayan itu menutup pintu kamar kembali.
Para pelayan makin bingung.
Mereka tidak tahu apa yang harus mereka lakukan. Tidak seorangpun berani
membangunkan putra mahkota, padahal sudah pukul sebelas siang. Para pelayan itu
berkumpul untuk membicarakan apa yang sebaiknya mereka perbuat. Akhirnya,
mereka sepakat untuk melaporkan hal itu kepada Raja Martapati.
Setelah menerima laporan dari
pelayan, baginda raja bergegas menuju kamar sang putra mahkota. Raja bergegas
menuju kamar sang putra mahkota. Semua pelayan mengikuti sang raja. Dengan
hati-hati raja Martapati membuka pintu kamar putra m, ahkota. Baginda terus menuju tempat tidur
pangeran dan berkata, “Putraku, bangunlah, hari sudag siang.” Namun tak ada
jawaban. Sekali lagu raja membangunkan putranya sambil menggoyang-goyang badan
sang putra mahkota yang ditutupi selimut, tetapi baginda raja tampak amat
terkejut. Selimut yang ada di tempat tidur itu disingkapnya, dan ... ternyata
sang putra mahkota tidak ada. Yangada hanyalah bantal dan guling yang disusun
membujur dan jika diselimuti tampak seperti orang yang sedang tidur berselimut.
Sekarang jelaslah sudah bahwa
sang putra mahkota tidak ada di dalam kamar itu. Semua orang heran dan
kebingungan. Semua pelayan merasa takut akan mendapat murka dari baginda raja
Martapati.
Beginda segera meemrintahkan
agar semua pengawal memeriksa seluruh istana. Semua pintu istana supaya
ditutup. Baginda mengira bahwa putra mahkota bersembunyi di salah satu kamar di
istana. Semua kamar, gudang, dapur dan bahkan kamar kecil diperiksa. Kamar
ataupun gudang-gudang yang gelap harus diterangi seterang-terangnya untuk
mengetahui apa yang ada di dalamnya.
Putra mahkota memang keluar
istana. Ia sudah lama ingin melihat keadaan luar istana. Ia ingin berkumpul
dengan rakyat dan ingin mengetahui seluk beluk kehidupan mereka.dan keinginan
itu baru kali ini dapat terkabul.
Sejak sore hari putra mahkota
tudak dapat tidur. Ia memikirkan bagaimana caranya keluar istana yang dijaga
dengan amat ketat itu. Putra makhota sudah bertekat untuk untuk melaksanakan
keinginannya malam itu juga. Ia mau keluar dari istana pada tengah malam di
waktu para penjaga dan pengawal sedang tertidur nyenyak. Dan sekarang keinginan
putra mahkota sudah tercapai. Ia tidak sabar memulai petualangan barunya.
* * *
Putra mahkota terus berjalan
kearah timur. Ia sudah melewati daerah-daerah pedesaan. Tetapi, putra mahkota itu
belum dapat melihat dengan jelas bentuk rumah-rumah penduduk karena hari masih
gelap. Penduduk pada umumnya belum bangun. Satu dua orang sudah ada yang keluar
di jalan. Mereka juga membawa beban yang cukup banyak. Beban itu ada yang
dijinjing, dipikul, digendong, dan ada pula yang dibawa dengan gerobak. Rupanya
mereka sedang menuju pasar untuk menjual barang-barang dan bahan yang mereka
hasilkan. Putra mahkota terus berjalan melewati kampung demi kampung. Ia sampai
ke sebuah bukit. Sambil duduk di punggung kudanya, ia terus memandang ke arah
timur. Tampaklah langit yang berwarna merah menandakan fajar telah menyingsing.
Tidak lama lagi matahari terbit. Burung-burung sudah mulai ramai bernyanyi.
Dari kejauhan terdengar ayam jantan berkokok bersahut-sahutan.
Keadaan disekitar bukit makin
lama makin terang. Putra mahkota merasa amat bahagia. Udara pagi dirasakannya
amat sejuk yang membuat badannya menjadi segar. Ia turun dari kudanya dan duduk
di atas sebuah batu besar. Disana putra mahkota ingin menanti sampai matahari
terbit.
Tidak beberapa lama kemudian,
matahari pun terbit. Sinarnya menerangi seluruh tempat. Putra mahkota dapat
menyaksikan semua yang ada disekitarnya. Pemandangan yang terbentang di hadapan
putra mahkota ternyata amat indah. Dihadapannya ada satu lembah yang amat luas.
Lembah itu kelihatannya subur sekali. Sawahnya luas dan penduduk tampaknya
hadup makmur. Dari kejauhan, kelihatan bentuk rumah mereka bagus-bagus. Di
tengah-tengah lembah itu ada sungai yang airnya berkelok-kelok seperti ular.
Putra mahkota mengagumi semua yang
ia saksikan itu. Ia memuji kebesaran Tuhan yang telah menciptakan semua
keindahan itu.
Setelah menyaksikan
pemandangan yang indah dari atas bukit itu, putra mahkota berjalan menuruni
bukit menuju lembah yang subur. Sebentar saja, putra mahkota dan kudanya itu
telah melewati daerah persawahan. Di sawah itu, keadaan masih sepi. Para petani
belum banyak turuk ke sawah. Di sana-sini sudah ada juga petani yang mulai
mencangkul atau membajak sawak.
Di daerah persawahan itu putra
mahkota tidak memacu kudanya. Ia sengaja ingin melihat-lihat bagaimana caranya
para petani itu mengolah sawah-sawah mereka. Putra mahkota juga ingin melihat
apa saja yang ada di daerah persawahan itu.
Agak jauh dihadapannya, putra
mahkota melihat sebuah pondok di tengah sawah. Disana ada asap yang sedang
mengepul. Putra mahkota tertarik untuk mengunjungi pondok tersebut dan ingin
melihat apa yang terjadi di dalam sana. Ia melarikan kudanya dan segera tiba di
jalan kecil yang tidak jauh dari pondok itu. Si belang, kuda kesayangan putra mahkota
terpaksa berhenti sampai di situ karena untuk terus ke pondok tidak dapat
dilewati karena jalannya kecil sekali dan becek.
Putra mahkota turun dari
kudanya dan langsung berjalan menuju pondok itu melalui pematang sawah yang
becek. Dengan pakaian kerajaan yang dikenakan putra mahkota, pemandangan itu
terasa kontras sekali. Pematang itu ternyata kecil dan becek sekali sehingga
kaki s ang putra mahkota sudah pebuh lumpur, lumpur itu juga memerciki pakaian
putra mahkota. Namun, putra mahkota tidak peduli, dan ia terus berjalan menuju
pondok.
Sesampainya di pondok itu,
putra mahkota melihat seorang anak laki-laki yang sebaya dengannya. Anak
laki-laki itu sedang asyik menghembus-hembuskan api unggun yang apinya tidak
mau menyala. Anak laki-laki ini tidak menyadari kedatangan sang putra mahkota.
Tiba-tiba ia mendengar orang menyapa,
“Hai, selamat pagi kawan” sapa
sang putra mahkota.
Anak laki-laki itu berdiri dan
menjawab “Selamat pagi”.
Mereka berpandang-pandangan
dan tersenyum. Keduanya mengulurkan tangan, sambil berjabat tangan, anak
laki-laki penghuni itu memperkenalkan diri,
“Nama saya Danar”
“Saya Indrapati” jawab
tamunya.
Mereka terus berpandangan dan
terdiam sejenak.
“Indrapati dari mana?” Danar
memulai pembicaraan.
“Saya dari istana”
Mendengar jawaban itu Danar
agak terkejut. Ia mundur ke belakang dua langkah. Segera ia teringat akan
mimpinya beberapa bulan yang lalu.
Anak laki-laki yang gagah dan
berpakaian sangat bagus itu sama persis dengan sosok sang putra mahkota yang
ada di dalam mimpinya.
“Jadi...jadi, tuan adalah
putra mahkota kerajaan kita ini?” Danar bertanya dengan gugup.
“Danar tidak salah. Tapi
bagaimana kau tahu kalau aku putra mahkota kerajaan ini?”
“hamba mengetahuinya dari
pakaian Yang mulia putra mahkota” jawab Danar gugup.
“Lalu mengapa kau gugup.
Bukankah kau tidak mempunyai kesalahan apapun?” tanya putra mahkota lagi.
“Oh, tidak Yang mulia, ...
tidak” Danar makin gugup. Ia membungkuk dan hampir saja berlutut untuk
menyembah sang putra mahkota. Tetapi, Danar tidak jadi berlutut dan menyembah
karena dicegah oleh sang putra mahkota.
“Jangan begitu Danar. Kita
berkawan sekarang. Kita tidak perlu menyembah-menyembah lagi. Yang perlu, kita
saling menghormati. Bukankah begitu Danar?”
“Benar, Tuan Putra Mahkota”
jawab Danar.
“Ee, jangan memanggil saya
dengan putra mahkota. Panggil saja Indra” kata putra mahkota.
“Baiklah, panggil saja saya
Danar” kata Danar pula.
Selanjutnya, sang pangeran
meminta untuk menginap di rumah Danar. Danar membawanya pulang dan
mengenalkannya pada Ibu dan penduduk desa.
Disana, putra mahkota diajak
mencari kayu, menggembala kambing, mencangkul di sawah, makan ubi bakar dam
sebagainya. Danar juga banyak mengajari hal-hal yang belum pernah dilakukan dan
diketahui oleh putra mahkota. Mereka juga sering menceritakan pengalaman
masing-masing. Ternyata Danar mempunyai kecerdasan yang tidak kalah dengan
pangeran putra mahkota. Mereka sering sekali bertualang dan menemukanhal-hal
yang menarik, seperti bersama-sama pergi ke hutan dan menemukan jamur baru yang
dapat dimakan. Emreka mambawanya pulang dan meminta pada ibu Danar untuk
memasaknya. Ternyata jamur itu enak sekali. Mereka juga sering mandi di sungai
dekat air terjun di tengah hutan. Pangeran putra mahkota tidak takut terkena
penyakit kulit karena air disana masih sangat bersih dan belum terjamah apapun,
suasananya disana juga masih sangat sejuk. Putra mahkota yang belum pernah
merasakan mandi di udara terbuka merasa senang sekali. Mereka bermain air
hingga sore hari.
Bukan hanya Danar dan ibunya
yang senang hati menerima kehadiran sang putra mahkota, tetapi masyarakat desa
tempat Danar tinggal juga menyambut putra mahkota dengan sikap ramah dan
hormat. Mareka bersikap mafhum atas tingkah laku sang putra mahkota yang kabur
dari istana. Mereka menganggap hal itu suatu kewajaran karena pangeran masih
muda dan ingin berpetualang untuk menambah pengalaman hidup. Mereka merasa
kasihan jika pangeran di masa mudanya hanya terkurung di istana saja.
Rakyat desa menganggap dengan
pangeran hidup di lingkungan rakyat jelata seperti mereka, kelak jika pangeran
sudah naik tahta menjadi seorang raja, beliau akan menjadi lebih bijaksana.
Rakyat desa juga berjanji untuk menjaga dan melindungi putra mahkota mereka.
Jadi, tidak akan ada yang menyakiti ataupun berniat jahat kepada putra mahkota,
sang putra mahkotapun semakin senang berada di desa itu.
* * *
Berbeda dengan putra mahkota
yang baik-baik saja dan berbahagia, keadaan istana menunjukkan hal yang
sebaliknya. Semenjak kepergian sang putra mahkota raja begitu sedih. Raja
sering merenung sandirian dan bahkan tidak mau makan sama sekali. Permaisuri
mencoba membujuk baginda raja untuk memakan makanannya, namun baginda menolak.
Berbeda dengan raja, permaisuri bersikap tenang saja karena beliau yakin sang
putra mahkota akan kembali, permaisuri kurang setuju dengan tindakan baginda
raja yang tidak memperbolehkan putra mahkota keluar istana. Jadi permaisuri
merestui kepergian sang pangeran untuk berpetualang.
Keadaan raja makin lama makin
memburuk. Bukan hanya saat sadar saja beliau memikirkan putra kesayangannya.
Bagindapun sering sekali mengigau tentang pangeran. Akhirnya karena terlalu
memikirkan permasalahan tersebut dengan kondisi yang tidak sehat, baginda
rajapun jatuh sakit.
* * *
Berita bahwa raja sakit karena
memikirkan sang putra mahkota cepat
tersebar ke seluruh pelosok negeri Jayapati, tidak terkecuali desa
tempat Danar tinggal. Putra mahkota mendapatkan berita itu dari pedagang yang
biasanya perg menjual dagangannya ke kota. Mendengar ayahandanya sakit keras,
putra mahkota sangt bersedih. Ia ingin kembali ke istana. Kemudian ia
menyampaikan keinginannya kepada Danar, sahabatnya.
“Pergilah wahai saudaraku,
baginda raja, ayahmu mungkin sangat merindukanmu” kata Danar.
“Ya, tapi aku ingin kau juga
turut bersamaku”
Akhirnya dengan restu ibunya,
Danar pergi ke istana mengantarkan sang putra mahkota. Keluarga menyambut
kedatangan putra mahkota dengan sangat bersuka cita. Terlebih-lebih sang
baginda raja Martapati. Putra mahkota meminta maaf kepada sang raja karena
pergi berpetualang tidak pamit. Rajapun memaafkan sang putra mahkota, karena
melihat tingkah laku putra mahkota lebih dewasa dan bijaksana. Kesehatan sang
rajapun mulai membaik.
Tujuh tahun kemudian raja Martapati mangkat dan
putra mahkota Indrapati mewarisi tahta ayahandanya. Setelah menjadi raja,
Indrapati kemudian penyuruh pengawal istana untuk menjemput Danar dan ibunya
untuk ke istana. Danar yang sama
bijaksana dan cerdasnya dengan Raja Indrapati itu pun diangkat menjadi perdana
menteri kerajaan. Dan Ibu Danar diangkat menjadi penasihat kerajaan sekaligus
menemani permaisuri. Kerajaan Jayapati pun menjadi semakin aman dan mekmur
karena diperintah oleh raja yang sangat bijaksana dan murah hati serta perdana
menteri yang cerdas dan penyayang.