Di rumah. Hujan. Di teras. Duduk. Air jatuh satu-satu dari bibir genting. Menciprati lantai. Menggenangi rumput. Susul menyusul. Menjadi bunyi yang paling sepi.
Kamu
suka musik klasik atau musik jazz?" tanyamu, seakan-akan itu adalah
pertanyaan penting. Padahal, itu tidak penting. Karena aku punya pertanyaan
lain yang lebih penting untukmu. "Kamu suka hujan waktu pagi hari atau
sore hari?" Ini pertanyaan penting untukku. Tetapi aku tahu bahwa itu
pertanyaan yang tidak penting menurutmu.
Karena
kira-kira aku sudah tahu apa jawabanmu. "Hujan bikin becek, banjir, dan
macet."
Tetapi
apakah kau tahu kalau serakan hujan tampak berkilau di ujung lancipnya
rerumputan? Aku ragu, kau tahu itu. Aku juga tidak merasa yakin kalau kau
pernah mencium wangi cemara yang mengambang di udara sehabis dibasahi hujan.
Jadi akulah yang menambang semerbak itu. Harum sunyi paling abadi. Ada di hati manusia yang
sendiri.
Tidak
ada kamu. Tidak tahu kamu sedang apa.
Mungkin
benar bahwa kamu sedang berlatih memainkan musik klasik atau musik jazz. Tetapi
aku tidak tahu bagaimana pastinya. Kemudian kamu berkata padaku "kamu
memang tidak tahu kalau satu oktaf sebetulnya ada dua belas nada. Terdiri dari
tujuh bilah putih. Dan lima
bilah hitam. Ini penting! Bukan cuma delapan nada yang seperti kamu katakan.
Tidak cuma do re mi fa sol la si do. Kamu tidak tahu."
Ya,
aku memang tidak tahu. Seperti aku tidak tahu kenapa pikiranku gentayangan
mencarimu. Padahal, aku tahu ada suara langit yang resah. Ada pesawat terbang menerjang hujan. Juga ada
burung kecil yang nekat menerabas hujan. Aku tahu pesawat terbang dan burung
kecil itu sedang saling bersaing. Pesawat terbang harus mendarat di
landasannya. Burung kecil harus mencapai gerombolan cemara. Aku tahu keduanya
sedang balapan menghindar dari basah. Tetapi aku tidak tahu yang mana dari
mereka yang akan berhasil lebih dahulu. Seperti aku tidak tahu kamu sedang di
mana.
Mungkin
kamu sedang terjebak macet karena banjir. Maka kamu pasti sedang mengutuk hujan
yang tidak berhenti sejak siang tadi. Karena hujan pasti membuat semua
rencanamu tertunda. Sudah pasti semua rencana yang penting, menurutmu. Termasuk
acaramu, latihan piano. Itu salah satu hal yang penting buatmu. Tetapi itu bukan
acara penting untukku. Bagiku yang kulakukan sekarang juga penting. Duduk-duduk
menonton hujan. Bukankah seharusnya kulakukan bersamamu? Tetapi kamu
menganggapnya tidak penting.
"Ayo,
cepat, habiskan baksomu. Sebentar lagi hujan. Nanti kamu kehujanan,"
katamu. Lagi-lagi aku tidak tahu, yang mana yang penting untukmu. Bakso, hujan,
atau aku? Karena yang penting bagiku adalah waktu bersamamu. Tidak ada bakso,
tidak mengapa. Kehujanan pun tak apa. Tetapi ada kamu. Ada kamu yang mendengarkan ceritaku tentang
bakso. Tentang hujan. Tentang kamu.
Jadi
ketika kau melempar aku begitu saja di halaman sebuah toko buku, aku tidak tahu
kau kemudian menjadi apa. Apakah kamu menjadi pesawat terbang? Ataukah menjadi
burung kecil? Apakah kamu sedang menuju landasan? Ataukah kamu justru sedang
tergesa mencari cemara? Yang kelihatannya penting, walaupun aku tidak tahu
apakah itu benar-benar penting adalah kau sedang terburu-buru. Mungkin sedang
memburu. Atau sedang diburu.
Ah,
itu sudah tidak penting lagi bagiku. Karena sudah hujan. Sudah angin. Sudah
dingin. Sudah basah.
Masih
di rumah. Masih hujan. Masih di teras. Masih duduk. Dan masih saja air jatuh
satu-satu dari bibir genting. Juga masih menciprati lantai. Sudah pasti masih
menggenangi rumput. Tentu masih susul-menyusul. Benar-benar masih menjadi bunyi
yang paling sepi.
"Nanti
aku ke rumahmu. Agak malam. Karena sekarang masih hujan. Masih banjir. Masih
macet," katamu.
Kali
ini kulakukan sesuatu yang penting menurutku. Kubuka pagar lebar-lebar. Agar
nanti mobilmu bisa langsung masuk ke car port. Sehingga ketika kau turun dari
mobil, kau tidak kehujanan. Tidak kena angin. Tidak dingin. Tidak basah.
Tetapi
yang kulakukan ternyata tidak penting untukmu. Kau tetap memarkir mobilmu di
jalanan. Di sisi luar pagar. Kamu turun, berlari kecil menembus rintik. Kamu
kehujanan. Kamu kena angin. Kamu kedinginan. Kamu basah.
Sekian
banyak kita bersisipan di antara yang penting dan tidak penting. Apakah sejenak
ada suara hujan menyelinap di antara nada-nada musik klasik dan jazz yang kau
mainkan? Sehingga aku tidak tahu, mana yang sungguhan penting dan mana yang
tidak penting. Aku juga sudah tidak bisa membedakan irama hujan atau denting
piano.
Akhirnya,
sampai juga kita kepada satu kata sepakat. Secangkir coklat panas. Kau
menyeruputnya. Dan aku bahagia melihat wajahmu mulai memerah. Tidak pias. Tidak
pucat. Sudah hangat.
"Kamu
suka musik klasik atau musik jazz?" kamu masih saja mengulang pertanyaan
yang kamu anggap penting itu.
"Kamu
suka hujan waktu pagi hari atau sore hari?" akhirnya kutanyakan juga
pertanyaan yang kuanggap penting ini.
"Aku
mau bikin lagu untukmu. Lagu tentang hujan," katamu tetapi bukan menjawab
pertanyaanku.
"Lagu
hujan adalah lagu yang paling aku suka," kurasa kata-kataku juga tidak
menjawab pertanyaanmu.
Kemudian
seperti biasa kamu berlalu. Tetap terburu-buru. Aku tidak tahu apakah kamu
sedang
memburu atau sedang diburu hujan. Itu sudah tidak penting lagi.
Tahukah
kamu kalau aku ingin menyampaikan ada yang lebih penting?
Bila
kamu memeluk hujan, itu aku. Bila kamu menyentuh dingin, itu aku. Bila kamu
mencium angin, itu aku. Maka kamu adalah tanah yang begitu tabah menadah basah.
Kurasa ini paling penting!
Cerpen pernah dimuat di Pikiran Rakyat, 17 Mei 2008.